JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan jalur kereta Mass Rapid Transport (MRT) dianggap tidak akan menyelesaikan kemacetan Jakarta. Hal itu disebabkan pembangunan MRT tersebut memerlukan investasi besar dan waktu yang tak sebentar.
Country Director of Institute for Transportation and Development Policy, Yoga Adiwinarto menjelaskan untuk mengatasi kemacetan Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia ini adalah bagaimana memindahkan orang, bukan memindahkan orang melalui mobil atau motor.
"Bila pemerintah kota Jakarta bangun MRT untuk atasi macet, itu tidak masuk akal," kata Yoga di ajang Tekno Idea "Solusi Sistem Lalu Lintas dan Tata Kota" di XXI Lounge Jakarta, Kamis (29/3/2012).
Sebenarnya, rencana pembangunan MRT di ibukota sudah direncanakan sejak tahun 1970. Tapi hingga penggantian enam gubernur DKI Jakarta sampai saat ini, pembangunan MRT pun hanya sebatas pembangunan tiang pancang.
Penundaan pembangunan MRT di Jakarta ini bukan tanpa sebab. Sudah menjadi rahasia umum pada proses pembangunan apa pun di Indonesia akan memerlukan birokrasi dan pembebasan lahan yang lama.
"Jika ada calon gubernur yang koar-koar akan membangun MRT dalam 5 tahun mendatang, itu tidak mungkin. Ada istilah guyonan kalau pembangunan MRT itu Masih Rapat Terus (MRT). Proyeknya tidak jalan-jalan," katanya.
Dalam catatan Yoga, biaya investasi untuk pembangunan MRT mencapai sedikitnya Rp 16 triliun. Sementara investasi untuk pembangunan jalur dan pengadaan bus Trans Jakarta hanya menelan Rp 5 triliun.
Untuk mendapatkan dana tersebut, pemerintah harus menganggarkan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Fokus Solusi
Menurut Yoga, konsep Bus Rapid Transit lebih cocok untuk Jakarta ketimbang MRT.
Pemerintah kota Jakarta telah membangun sarana transportasi Trans Jakarta. Konsep ini ditiru dari proyek pencegahan kemacetan di Bogota Kolombia.