Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Era Digital, Kenapa Anak Muda Kembali ke Kamera Analog?

“Feel-nya lebih klasik dan benar-benar terasa efek nostalgianya,” kata Fahmy pada KompasTekno beberapa saat lalu.

Kamera analog pertama Fahmy adalah Olympus XA2 dari tahun 1980 milik orang tuanya. Lama-kelamaan Fahmy mulai mengulik kamera analog jenis lomo dengan membeli Diana F+.

“Itu priceless sih,” ujarnya.

Hal tersebut diamini Azmi Mudhoffar (25) yang baru setahun terakhir mempelajari kamera analog. Fotografer freelance ini merasa lebih menghargai karyanya ketika belajar kamera analog.

“Jadinya juga lebih berhati-hati dan mikir kalau mau bertindak dengan kamera analog,” ia menuturkan.

Pasalnya, di kamera digital, Anda bisa menjepret banyak foto untuk kemudian melihat hasilnya pada layar yang tersedia. Jika tak suka, Anda bisa langsung menghapusnya.

Konsep itu tak berlaku di kamera analog. Bagus atau tidaknya hasil jepretan baru bisa diketahui ketika melewati proses cuci foto.

“Pas lihat hasil cucinya, bisa sesuai ekspektasi, melebihi ekspektasi, atau nggak sesuai. Jadinya seru,” ia menjelaskan.

“Kadang juga ada efek throwback-nya. Suka lupa pernah foto seperti itu dan baru ingat lagi pas lihat hasil cuci roll-nya,” ia menambahkan.

Jika Fahmy dan Azmi masih sekadar menjadi penghobi kamera analog, Renaldy Fernando sudah membawa hobinya ke ranah bisnis dengan membuka blog dan toko perkakas kamera analog bertajuk “jellyplayground”.

Renaldy mulai main kamera analog sekitar akhir 2008. Ia mengaku kala itu tak punya duit membeli kamera digital, sehingga memilih kamera analog yang terhitung lebih murah.

“(Pada zaman itu) ada kamera analog yang saya beli seharga Rp 15.000,” kata Renaldy.

Renaldy mengaku bukanlah penikmat menunggu proses seperti Fahmy dan Azmi. Meski demikian, ia harus rela mengikuti semua proses dari isi roll hingga mencucinya untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

“Menjepret dengan kamera analog memberi kita kesempatan untuk berpikir dan menduga-duga hasil foto kita nantinya. Selain itu, kamera analog juga memberikan kita pilihan roll film yang bisa kita gunakan sesuai kebutuhan dan keperluan masing-masing,” Renaldy menjelaskan.

Sementara itu, kamera analog memiliki keterbatasan baik itu dari segi kelangkaan roll film di pasaran, hingga medium kameranya sendiri yang lebih sulit ditemukan ketimbang kamera digital.

“Sejarah nggak mungkin keulang karena zaman pasti maju terus. Kamera analog mungkin bukan diposisikan sebagai saingan kamera digital tapi justru sebagai pelengkap. Masyarakat zaman sekarang jadi lebih kaya referensi dan bisa memanfaatkan kamera sesuai kebutuhannya,” kata Fahmy Siddiq.

“Kalau bisa melihat teman-teman yang mulai dan udah bagus-bagus hasilnya, saya senang. Semoga banyak yang bertahan dengan kamera analog, bukan tren semata,” Renaldy memungkasi.

Catatan: Artikel ini adalah bagian dari Liputan Khusus KompasTekno soal "Tren Kamera Analog di Era Digital". Artikel-artikel lain soal seluk-beluk tren kamera analog bisa dipantau di tautan ini.

https://tekno.kompas.com/read/2017/08/03/11232287/era-digital-kenapa-anak-muda-kembali-ke-kamera-analog-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke