Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pentingnya Ketegasan KNKT dalam Penyelidikan Lion Air JT610

Pasalnya, pesawat yang terlibat dalam kecelakaan ini adalah tipe terbaru buatan Boeing. 737 MAX pertama yang diproduksi Boeing terbang perdana pada Januari 2016 lalu. Banyak maskapai di seluruh dunia yang memesan dan mulai menerima pengiriman pesanannya.

Semua kini menunggu hasil penyelidikan, apakah kecelakaan JT610 terkait faktor teknis, atau faktor lainnya.

Jika memang ternyata penyebabnya dari faktor teknis dalam pesawat, sudah seharusnya Boeing mengeluarkan imbauan kepada semua operator B737 MAX dan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan.

Yang pasti, semua pihak perlu mengawal jalannya proses investigasi ini, agar hasil akhirnya sesuai dengan fakta, sehingga rekomendasi yang dikeluarkan bisa menjaga keselamatan penerbangan.

Jangan sampai tim KNKT dipengaruhi oleh campur tangan atau tekanan dari pihak-pihak tertentu, demi menutupi kepentingan satu pihak.

Pesawat baru yang laris

737 MAX saat ini adalah barang dagangan Boeing yang laris. Saat proyek 737 MAX baru diumumkan pada 2011 lalu saja, Boeing sudah menerima komitmen 496 pesanan pesawat dari lima maskapai di dunia. Jumlah ini terus bertambah.

Hingga kuartal III-2018 lalu, menurut rilis yang dikeluarkan oleh Boeing, pabrikan pesawat AS itu secara kumulatif telah mengantongi 4.783 pesanan pesawat 737 MAX, yang 219 unit di antaranya sudah mulai dikirim ke maskapai pemesan.

Setidaknya ada 75 maskapai dan perusahaan leasing (sewa pesawat) yang telah memesan 737 MAX, baik varian MAX 8 maupun MAX 10.

Saham Boeing sendiri di hari yang sama setelah kecelakaan JT610, anjlok 6,6 persen pada Senin (29/10/2018). Penurunan ini merupakan kinerja harian saham Boeing terburuk sejak 2016 silam.

Faktor kecelakaan JT610 disebut NBC menjadi salah satu sebabnya, mengingat kecelakaan ini merupakan kecelakaan fatal yang melibatkan 737 MAX yang pertama kali. Faktor lain adalah pengumuman bahwa AS bersiap menerapkan tarif untuk seluruh barang impor China.

Tentunya, dengan nilai bisnis triliunan dollar AS, Boeing memiliki kepentingan melindungi barang dagangannya, yakni pesawat baru 737 MAX.

Di sinilah dibutuhkannya independensi dari tim penyelidik. Walau KNKT sebagai penyelidik utama, namun NTSB dan Boeing juga terlibat dalam investigasi ini.

Jangan sampai dua unsur penyelidik yang berasal dari kubu yang sama (AS), mempengaruhi hasil investigasi dan rekomendasi.

Belajar dari kasus AF447

Kekhawatiran ini mengingatkan saya akan kasus jatuhnya pesawat Airbus A330 penerbangan AF447. Hingga kini, masih ada dugaan bahwa pabrikan pesawat Airbus memberikan pengaruh terhadap proses investigasi yang dilakukan tim investigasi Inggris, BEA.

Walau kesimpulan dari BEA adalah human error dan kurangnya pelatihan dalam menghadapi kondisi stall, namun teori lain juga muncul, menyebut kesalahan software pemrograman di pesawat A330.

Pasalnya, BEA hanya menyebut horizontal stabilizer pesawat A330 menekuk 13 derajat (membuat hidung pesawat ke atas dan menanjak), tanpa menyebutkan apa penyebabnya.

Input yang diberikan oleh pilot dan kopilot di kokpit, dengan mendorong kontrol kemudi ke depan untuk membawa hidung pesawat turun, seolah tidak berpengaruh. Memang ada dual input oleh kapten dan kopilot, namun pada 30 detik terakhir, kontrol sepenuhnya diambil alih oleh kapten.

Input yang tidak direspons oleh pesawat ini, menurut seorang profesor di Institut Aeronautika dan Astronotika di Technical University Berlin, But Gerhard Huttig, bisa diatasi dengan mengatur trim horizontal stabilizer secara manual, lewat kontrol trim wheel yang ada di samping throttle.

Huttig yang juga mantan pilot Airbus itu juga telah mempraktikkannya dalam sebuah simulator A330, membuktikan bahwa pengaturan manual dengan trim wheel bisa membawa pesawat keluar dari stall.

Kemudian pada Januari 2010, Airbus tiba-tiba dalam edaran keamanan internalnya, baru menyebut cara mengatasi stall itu lewat pengaturan horizontal stabilizer itu secara manual dengan trim wheel.

Namun jika kecurigaan ini benar, maka Airbus harus mengganti atau meng-update pemrograman software di pesawat A330 dan A340, yang jumlahnya mencapai ribuan pesawat. Ongkos perbaikan software itu sendiri dinilai bisa mencapai ratusan juta Euro.

Namun pada akhirnya, penyelidikan BEA menyebut bahwa AF447 jatuh karena kesalahan kru dalam menangani stall. Dengan demikian, Airbus tidak perlu meng-update software di ribuan pesawatnya. Benar atau tidaknya teori ini, masih terbuka untuk diperdebatkan.

Namun hasil investigasi BEA juga menunjukkan bahwa selain reaksi pilot dan kopilot dinilai kurang tepat, maskapai dan pabrikan pesawat juga dinilai ikut bertanggung jawab.

Maskapai dianggap tidak memberikan pelatihan atau menyiapkan awak kabinnya akan situasi seperti itu. Sementara Airbus selaku pabrikan pesawat dinilai tidak memberikan rekomendasi yang cukup.

Perlunya investigasi yang independen

Di sinilah ketakutan penyelidikan AF447 yang terasa kurang tuntas itu, dikhawatirkan kembali terjadi pada penyelidikan JT610.

Untuk itulah, sekali lagi perlu ditegaskan akan pentingnya investigasi independen dan jujur, sesuai dengan data dan fakta, dan tidak meninggalkan celah keraguan atau pertanyaan. Karena inti dari penyelidikan kecelakaan pesawat adalah mencari rekomendasi agar peristiwa yang sama tidak terjadi kembali, bukan mencari siapa yang salah.

Masyarakat pun bisa bersama-sama mengawal penyelidikan Lion Air JT610 ini, mengingat data penerbangan JT610 selain dari kotak hitam, saat ini juga tersedia dan bisa diakses oleh siapa saja.

https://tekno.kompas.com/read/2018/11/05/14150067/pentingnya-ketegasan-knkt-dalam-penyelidikan-lion-air-jt610

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke