Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Ware Tada Taru Wo Shiru" sebagai Pedoman Pertahanan Tsunami Informasi

Misalnya, netizen sempat heboh ketika Elon memutuskan memangkas setengah dari jumlah karyawan Twitter.

Terbaru, bos perusahaan luar angkasa SpaceX ini mengharuskan karyawan datang ke kantor, meskipun saat ini kebanyakan perusahaan membolehkan pegawai bekerja dari rumah.

Kebijakan label warna centang pada Twitter juga berubah. Pengguna sekarang dapat membeli centang biru dengan harga sekitar 8 dollar AS Rp 125.000.

Sementara akun resmi, misalnya, kepunyaan pemerintah, pejabat, eksekutif dan lain-lain yang dulunya berwana biru akan berubah menjadi warna abu-abu.

Kita tahu Twitter digemari dan orang menggunakannya untuk menyebarkan berita atau pendapat singkat dan padat.

Keterbatasan jumlah 280 karakter (sekitar 15 - 20 kata) sekali posting membuat pengguna Twitter harus berpikir dan menyeleksi kata apa yang hendak dicuitkan.

Dengan pembatasan dan seleksi kata, maka pembaca (follower maupun bukan) bisa lebih fokus, sekaligus memudahkan mereka untuk memahami isi cuitan.

Sesuatu yang terbatas memang mempunyai nilai lebih. Terutama jika keterbatasan ini ada nilai tambah, misalnya keindahan.

Contohnya salah satu jenis sastra Jepang, yaitu tanka. Susunan tanka mempunyai peraturan, yaitu 5 baris dengan pola 5-7-5-7-7. Ini pola jumlah huruf bahasa Jepang, di mana satu huruf biasanya hiragana, kalau dituliskan dengan huruf romawi terdiri dari satu atau dua huruf.

Saya tidak tahu apakah Twitter terinspirasi tanka, sehingga mereka juga menerapkan pembatasan jumlah karakter cuitan.

Keterbatasan jumlah total 31 huruf inilah yang menjadikan barisan kata-kata pada tanka mempunyai makna indah.

Sayangnya, sekarang keterbatasan adalah hal langka, terutama di dunia internet. Saat ini, semua boleh dikatakan serba berlebihan.

Keterbatasan 280 karakter pada Twitter sekarang sudah tidak ada lagi maknanya. Kita dapat lihat dan baca terkadang orang mencuit tulisan bersambung yang panjang beberapa kali di Twitter. Saling sahut (bahasa ekstremnya, twitwar) kerap terjadi, menggunakan kata "berjilid-jilid".

Belum lagi kita berbicara tentang banyaknya informasi di dunia maya. Mengapa banyak?

Salah satu alasannya, pada zaman kiwari selain media portal baik bonafide maupun abal-abal, berbagai aplikasi media sosial seperti Meta, Instagram, Youtube, aplikasi percakapan seperti Line dan Whatsapp sering juga menjadi media untuk menyebarkan informasi.

Menurut situs Ookla, pengguna aplikasi media sosial di Indonesia jumlahnya ratusan juta. Akibatnya bisa Anda bayangkan sendiri.

Satu informasi bisa berkembang menjadi beberapa puluh, ratusan, bahkan ribuan informasi baru. Ini menjadi riskan jika dalam "berkembang biaknya" informasi tersebut, ada tambahan bumbu racikan.

Kalau itu terjadi, hasilnya adalah informasi awal kerap menjadi kabur. Kemudian informasi berubah sehingga isinya menjadi ganas dan liar.

Saya mengibaratkan saat ini, kita berada ditengah tsunami informasi. Saya sebut tsunami karena selain jumlahnya besar (baca: tidak terhitung), informasi yang umumnya beredar di dunia maya tidak semuanya sahih alias asli dan benar.

Kita tahu tsunami menyapu bersih semuanya, sehingga gumpalan ombak laut yang tadinya bening menjadi hitam merasuk ke daratan, membawa serpihan barang yang hancur hanyut bersamanya.

Jika tidak menggunakan pikiran dan akal sehat, maka orang akan terseret arus tsunami, terutama kalau banyak mengonsumsi informasi keliru. Andai kata ini terjadi, maka dapat berakibat serius.

Di dunia nyata, misalnya, bisa mengakibatkan gesekan dan lebih parahnya lagi perpecahan dalam kehidupan kebangsaan.

Dari banyaknya informasi tersebut, tak semua adalah hal layak kita simak. Dugaan saya, kemungkinan besar informasi yang beredar adalah informasi tidak penting.

Tidak penting itu artinya begini. Jika tak tahu pun, maka tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam kehidupan, misalnya sebagai pegawai, ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, dan lainnya.

Saya pernah membaca buku karangan dokter dan psikiater berkebangsaan Swedia bernama Anders Hansen. Dia menerbitkan buku yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris berjudul Insta-brain. Sebagai catatan, saya membacanya dalam versi terjemahan bahasa Jepang.

Dia berpendapat bahwa otak manusia tak mengalami banyak perubahan sejak nenek moyang yang melakukan perburuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada zaman primitif.

Sehingga dalam era arus informasi yang tidak dapat lagi dibendung seperti sekarang ini, otak manusia tak mampu menyesuaikan diri.

Ini diperparah dengan kecanduan orang pada gawai. Kecanduan ini bisa mengganggu ritme tubuh, yang bisa mengakibatkan berkurangnya waktu untuk istirahat.

Efeknya bisa kita rasakan, misalnya, kecepatan berpikir dan keakuratan informasi yang bisa disaring oleh otak menjadi turun drastis.

Meskipun lelah karena kurang istirahat, namun kecanduan pada gawai mengakibatkan orang terus melakukan hal tersebut. Begitulah ini terjadi berulang secara terus menerus seperti lingkaran setan.

Kita kembali kepada informasi yang penting dan tak penting. Kenyataannya, hal-hal yang dianggap penting sebenarnya tidak penting.

Analoginya mungkin dapat saya ceritakan begini.

Terkadang saat jalan-jalan sore ke mal, ada barang yang dibeli karena berpikiran barang ini penting dan diperlukan. Akan tetapi setelah sampai di rumah, kita tidak segera menggunakan, bahkan setelah beberapa minggu maupun pada bulan berikutnya.

Seperti juga kalau ke toko buku, misalnya, orang membeli satu buku karena menganggap isi buku itu hal penting.

Padahal setelah pulang kerumah, buku hanya ditaruh saja di rak buku tanpa pernah membuka plastik pembungkus apalagi membacanya. Istilah bahasa Jepang untuk kebiasaan menumpuk buku tanpa membaca disebut tsundoku.

Hal sebaliknya bisa terjadi. Sekilas ada benda atau peristiwa atau apapun, kelihatannya tidak penting. Akan tetapi kenyataannya, hal atau peristiwa itu penting.

Dalam bahasa Jepang, ada ungkapan pas untuk itu bunyinya "muyou-no-you". Contoh konkretnya adalah upacara minum teh.

Bagi orang asing, upacara minum teh kelihatannya kegiatan tidak penting. Akan tetapi sebenarnya, ada banyak hal penting bisa disimak pada upacara minum teh.

Salah satunya adalah tentang menghargai waktu. Penyelenggara acara, terutama orang yang membuat teh sudah merelakan waktu untuk membuat teh. Padahal mungkin dia juga mempunyai kesibukan lain.

Sebagai orang yang dijamu tentu harus memberikan respek dengan menikmati suguhan teh menurut tata cara berlaku. Kedua belah pihak wajib menghargai dan saling respek pada ruang dan waktu yang sama.

Dalam kehidupan modern, ada banyak pilihan yang bisa diambil. Satu hal perlu diingat bahwa orang patut berhati-hati memilih. Tujuannya, agar tidak menghabiskan waktu pada sesuatu yang kita anggap penting, namun sebenarnya tidak penting.

Sebagai penutup tulisan, saya ingin mengutip ungkapan Zen agar kita mampu memilih hal yang benar-benar penting, bukan kelihatannya saja penting, namun sebenarnya tidak.

Ungkapan ini terpahat pada tsukubai (wadah batu rendah untuk memcuci tangan di depan ruangan untuk upacara minum teh) di Kuil Ryoanji, Kyoto. Bunyinya "ware tada taru wo shiru".

Artinya, kita harus puas atas apapun yang dipunyai saat ini. Meskipun biasanya rumput tetangga terlihat lebih hijau. Hilangkan rasa ketidakpuasan dalam hidup.

Pada zaman di mana derasnya informasi tidak terbendung lagi, apalagi saat kita sulit menentukan apakah suatu hal itu penting atau tak penting, meniadakan rasa ketidakpuasan merupakan kata kunci yang saya kira layak untuk dipertimbangkan.

https://tekno.kompas.com/read/2022/11/13/10585867/ware-tada-taru-wo-shiru-sebagai-pedoman-pertahanan-tsunami-informasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke