Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Starlink, Ancaman Nyata GEO dan Operator Seluler

Teknologi canggih “BTS Langit” itu membuat kemapanan operator seluler terusik.

Sebagian mereka meminta pemerintah turun tangan, membuat barikade perlindungan agar tercipta bisnis yang berimbang, the same playing field dengan Starlink.

Sejak lebih 40 tahun lalu, operator seluler membangun BTS (base transceiver station) untuk menjangkau sebanyak mungkin pelanggan dengan biaya besar, terutama kelak saat 5G diadopsi.

Namun satelit mampu menjangkau pelanggannya di mana pun, di kota atau di tengah lautan, di tengah kerimbunan hutan belantara walau tarifnya pasti tidak akan “semurah” tarif seluler.

Pelanggan ponsel hanya bermodal ponsel dan dengan Rp 20.000 sebulan bisa berhalo-ria dengan relasinya di belahan dunia mana pun, sepanjang ada jaringan seluler.

Tampaknya tidak hanya operator yang akan terusik, layanan satelit Satria1 milik Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) Kementerian Kominfo, bisa bernasib sama.

Satria1 berkapasitas 150 Gigabit per detik (Gbps), semula akan dibagikan ke 150.000 titik di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal), namun itu hanya akan meratakan masing-masing 1Mbps di tiap titik.

Akhirnya diputuskan pembagian kapasitas hanya untuk 50.000 titik, diharapkan masing-masing akan mendapat 4 Mbps.

Namun jasa Satria1 ataupun Starlink, tidak serta merta bisa dimanfaatkan masyarakat pengguna begitu kedua satelit itu beroperasi.

Harus ada perangkat-perangkat teknologi di bumi yang akan menyambungkan sinyal-sinyal satelit ke ponsel atau komputer pelanggan, antara lain modem satelit.

Karenanya biaya akses Starlink, misalnya, atau Iridium, GlobalStar, OneWeb, Odyssey, berpuluh kali lipat lebih mahal dibanding biaya seluler.

Ini membuat penerima UMR, bahkan karyawan dan pengusaha kelas menengah pun akan berhitung ulang kalau harus membayar biaya layanan BTS Langit ala Starlink yang Rp 2 juta – Rp 3 juta sebulan.

Ribuan satelit Starlink sebagai BTS di langit terbang mengitar di ketinggian antara 500 km hingga 2.000 di atas permukaan bumi.

Mereka disebut sebagai satelit LEO (low earth orbit), satelit yang mengorbit bumi di ketinggian rendah.

Starlink – dan kawan-kawannya tadi – harus terus bergerak untuk memberi layanan kepada pelanggannya. Satelit LEO terbang memutari bumi dengan kecepatan 27.000 km/jam dalam waktu 90 menit.

Sementara satelit MEO (medium earth orbit) berkeliling bumi di ketinggian di atas 2.000 km, dan satelit GEO (geostationer earth orbit) diam, dipanteng di ketinggian 36.000 km di atas bumi, di posisi tetapnya.

Misalnya satelit Satria1 yang ditaruh di lokasi 146º bujur timur, atau satelit milik Bank BRI yang diluncurkan pada 18 Juni 2016 yang menempati slot 105,5 º bujur timur bekas pakai satelit Palapa C2, harus selalu diam di tempatnya.

Satelit, baik LEO, MEO maupun GEO, selalu terpengaruh gaya tarik bumi yang bisa membuat mereka melenceng dari slot atau ketinggiannya sehingga harus sering dikembalikan ke posisinya.

Aksi koreksi ini dilakukan dengan menghidupkan roket yang dibawa tiap satelit. Makin sering satelit dikoreksi, makin pendek usianya. Rata-rata usia satelit GEO 15 tahun, bisa 20 tahun kalau satelitnya anteng.

Satelit GEO Satria1 beratnya 4,6 ton tingginya 6,5 meter, sementara satelit LEO lebih kecil, bandingannya seperti bus antarkota dengan kulkas mini.

Satelit LEO sering dikoreksi dampak gravitasi yang lebih besar akibat posisinya lebih dekat ke bumi, sehingga usia rata-ratanya lima tahun, kemudian dijatuhkan ke bumi berupa serpihan hangus saat masuk atmosfer.

Satelit LEO yang mati bisa saja ditangkap, diturunkan pelan-pelan, dipenuhi tangki roketnya, diluncurkan lagi, beroperasi lagi. Namun belum tahu mana lebih untung membiarkannya gosong atau menyegarkannya kembali.

Satelit GEO punya cakupan (footprint) yang umumnya tidak berubah. Starlink punya cakupan sesuai jejak orbitalnya saat terbang memutari bumi.

Untuk melayani satu koordinat atau titik tertentu di bumi harus ada 48 satelit, berkomunikasi masing-masing selama 10 menit mulai terbit sampai tenggelamnya lalu digantikan satelit berikutnya.

Akan ada 42.000 satelit Starlink untuk meliput semua permukaan bumi.

Biaya pembangunan satelit GEO mahal, sekitar Rp 8 triliun, plus dari 250 juta dollar AS biaya peluncurannya, belum biaya operasinya.

Pabrikasi dan peluncuran satelit LEO lebih murah, biaya operasinya sangat mahal. Jadinya, biaya akses Starlink mahal, antara 200 dollar AS/bulan atau sekitar Rp 3 juta, sampai 599 dollar AS/bulan atau Rp 9,5 juta.

Menkes Budi Gunadi Sadikin pernah bilang akan menawar biaya akses itu jadi Rp 300.000 kelak ketika jumpa Musk. Masalahnya apakah Elon Musk mau memberi subsidi khusus untuk puskemas se-Indonesia dan sampai kapan.

Kapasitas unduh Starlink antara 100 megabit/detik (Mbps) hingga 200 Mbps dengan masa jeda (latensi) hanya 20 milidetik/milisecond (ms). Jauh dari kemampuan operator seluler, menurut hasil tes Ookla.

Paling tinggi (Telkomsel) kecepatan unduhnya 20,85 Mbps dan latensi 47 ms, disusul XL Axiata 19,18 Mbps dan 60 ms, IOH 12,77 Mbps dan 58 ms, Smartfren 11,79 Mbps dan 56 ms.

Kini Telkomsat sebagai mitra SpaceX Starlink punya 11 gateway, Satria1 menyiapkan 11 gerbang.

Suatu kali nanti, teknologi akan membuat pelanggan bisa menghubungi langsung ke satelit antara lain dengan memasang modem satelit di komputer pelanggan.

Namun, menurut ahli satelit Kanaka Hidayat, antena satelitnya harus dibuat besar agar peka terhadap pancaran ponsel yang kecil.

Sementara tarif layanan Starlink akan membuat tidak semua pengguna ponsel pintar, walau iPhone 14 atau iPhone 15 sekalipun, atau Huawei Mate 60, mau membuka akses ke satelit.

Namun siapa tahu bagi para Sultan, kecepatan 100 Mbps sampai 200 Mbps nyaris tanpa jeda akan lebih menggiurkan dibanding tampilan lelet operator seluler.

https://tekno.kompas.com/read/2023/09/11/08522657/starlink-ancaman-nyata-geo-dan-operator-seluler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke