Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semangat Batik Sepanjang Masa

Kompas.com - 11/08/2008, 17:57 WIB

Oleh Nur Hidayati

Niniek Elia Kasigit (78) mengenal bisnis batik sejak kanak-kanak. Ibu dan neneknya menggeluti usaha batik di Kota Solo, Jawa Tengah. Bisnis batik keluarga ini berakar jauh pada abad ke-19. Dengan semangat dan kreativitas yang tak pernah digerogoti usia, dia mempertahankan tradisi bisnis batik itu melewati pergantian abad dan jungkir balik selera.

Ketika masa pendudukan Jepang tahun 1942, pabrik batik keluarga Niniek ditutup. Pada usia 12 tahun, ia pun berhenti sekolah karena Jepang menutup sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar.

Namun, berhenti sekolah tak memadamkan semangat belajarnya. Niniek melanjutkan belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan Mandarin secara informal, sekaligus menekuni keterampilan menjahit.

Pada usia 18 tahun, Niniek menikah dengan Somadi Kasigit yang juga berasal dari keluarga pengusaha batik di Solo. Setahun sebelum menikahi Niniek, Somadi mendirikan perusahaan Batik Bodronoyo pada 1947. Bodronoyo adalah nama lain Semar, tokoh panutan dalam pewayangan.

Tahun 1966 nama Batik Bodronoyo diganti menjadi Batik Semar karena nama Semar lebih akrab di masyarakat. Sampai sekarang Batik Semar menjadi salah satu produsen dan eksportir batik utama di Solo.

"Dulu, ibu saya membuat jarik (kain panjang) batik cap. Ketika mulai usaha sendiri, cap-cap dari perusahaan orangtua saya simpan, kami buat batik tulis," ujar Ny Kasigit, panggilan Niniek.

Cap pada pembatikan dibuat dari kawat tembaga yang membentuk satu blok motif sebagai pengganti canting, alat lukis batik. Produksi batik cap volumenya lebih besar dibandingkan dengan batik tulis agar lebih ekonomis.

Mahalnya harga kain pascapenjajahan Jepang menjadi tantangan berat bagi produsen batik. Pasangan Niniek-Kasigit memilih memproduksi batik tulis dengan sejumlah pembatik di bengkel yang juga menjadi rumah tinggal mereka masa itu. "Batik kami waktu itu seluruhnya bercorak solo asli warna sogan."

Ketika perusahaan mulai berjalan, agresi militer Belanda tahun 1949 memaksa keluarga Kasigit mengungsi ke Surabaya. Di pengungsian, pasangan ini menggandeng beberapa pembatik dari Sidoarjo, memperkenalkan corak solo, dan menjual produksi mereka di sekitar Surabaya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com