Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan-perempuan Pengusaha Batik Rembang

Kompas.com - 01/04/2010, 11:35 WIB

KOMPAS.com - Ada lompatan besar antara menjadi pekerja dan menjadi pengusaha. Tidak semua orang berhasil melakukannya. Di Pancur, Rembang, 12 ibu bersepakat menjadi pengusaha batik, pengetahuan yang sudah mereka hidupi dari belia.

Keinginan menjadi pengusaha batik tidak tiba-tiba. Lembaga swadaya masyarakat Institut Pluralisme Indonesia (IPI) yang menginduksi keinginan berubah dari pekerja menjadi majikan. Karya mereka dipamerkan di Jakarta awal pekan ini bersamaan dengan peuncuran buku terbitan IPI, Potret Kehidupan Pembatik di Lasem Rembang (Hempri Suyatna, William Kwan, Dyah Rosiana, dan Dewi Meiyani) serta Eksplorasi Sejarah Batik Lasem (William Kwan, Dyah Rosina, dan Aulia Hadi).

"Saya ditawari Pak William Kwan dari IPI untuk punya usaha batik sendiri tahun 2004, tetapi belum berani karena saya sekolah hanya sampai kelas I SD. Lalu kalau mau pinjam kredit untuk modal bagaimana mengembalikannya," kata Ramini (45).

Perlu waktu 2 tahun sampai akhirnya Ramini pada 2006 mendirikan Kelompok Usaha Bersama Srikandi. Dia menjadi ketua dan memiliki 11 anggota. Motivasi utama tetaplah menyumbang pada pendapatan keluarga. Selain itu, mereka ingin memiliki usaha sendiri.

Keinginan untuk dikenal sebagai pembatik mendorong Mariyati (34), Wakil Ketua KUB Srikandi, rela tidak lagi menerima jahitan di rumah. Berasal dari keluarga pembatik, Mariyati memiliki keterampilan membatik. Namun, pekerjaan sebagai buruh batik membuat dia anonim karena yang mendapat nama perusahaan batik.

Meskipun KUB belum dapat membagi keuntungan kecuali uang kerja harian, tetapi Mariyati puas. Cita-citanya, batiknya akan dikenal orang. "Kalau menjahit, sehari bisa menyelesaikan 2-3 baju, ongkosnya Rp 10.000-Rp 12.000 per baju. Dari membatik, sekarang dapat uang harian dari kelompok Rp 14. 000 kerja dari Senin-Sabtu," ujar Mariyati.

Modal awal dibantu IPI berupa bahan baku dan peralatan. Mereka juga didampingi IPI untuk menggunakan pewarna alam. "Sengaja dari awal kami ajak mereka mengenal proses yang lebih sulit supaya tidak menggampangkan," kata Kwan.

Pameran pertama mereka di Jakarta sukses, sebagian besar batik mereka terjual. Meski begitu, Ramini mengatakan, pemasaran masih menjadi kendala mereka. Pemasaran masih ke dekat-dekat Rembang; ke Juwana, Kudus, dan yang sampai Surabaya.

Jiwa wirausaha nyatanya berkembang pada anggota KUB. Mereka rajin menghasilkan corak baru agar pembeli tak bosan. Batik karya Ramini, Damai Sejahtera, bahkan menjadi finalis ASEAN Award for Young Artisans in Textiles setelah diikutkan Dekranas dalam ASEAN HAndicraft Promotion and Development Association di Bangkok, Thailand, November 2009.

Pembagian Kerja
Di Pancur, perempuan terlibat dalam semua proses, mulai dari membatik, mewarna, hingga melepas malam (lorodan). Para lelaki kebanyakan bekerja sebagai petani atau kerja lain, seperti mengojek.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com