Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
kolom

"Free", Menggali Rezeki Substitusi di Era Ekspansi Digital

Kompas.com - 23/02/2016, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Sampai di sini saya tercenung dan ingatan kemudian melayang ke masa lalu sekira 12 tahun silam, saat di mana sebagai jurnalis saya ditugaskan di timur Indonesia berkedudukan di Makassar, Sulawesi Selatan.

Di daerah “Anging Mammiri” ini saya berkenalan dengan sosok seniman besar Makassar, Iwan Tompo, yang kini sudah almarhum. Lagu-lagunya melegenda, baik yang diciptakannya maupun lagu klasik Makassar yang dinyanyikan ulang dengan nada tinggi. Kebanyakan dalam bahasa Makassar, sesekali lagu klasik Bugis juga.

Tugas jurnalistik membawa saya berkeliling ke bagian timur Indonesia, dari Papua, Ambon, Palu, Manado, Gorontalo, Kendari, Poso, dan hampir semua kabupaten kota di Sulawesi Selatan.

Uniknya, di kantung-kantung Bugis-Makassar di wilayah-wilayah yang saya sebutkan itu, hampir tidak ada yang tidak memiliki kaset atau CD Iwan Tompo. Pada beberapa warung makan malah ada khusus VCD karaokenya. “Ini luar biasa,” batin saya.

Pada sejumlah penampilannya dari panggung ke panggung, beberapa kali saya mengikuti di mana Iwan Tompo menyanyi. Penggemarnya terserak di sudut-sudut kampung dan kota di Sulawesi Selatan serta provinsi tetangganya. Puluhan albumnya dalam bentuk kaset, CD dan VCD terserak dan hampir semuanya album bajakan!

Pada sebuah kesempatan, kepada saya Iwan Tompo mengaku tidak menerima royalti dari hasil merekam suaranya di Irama Baru Record itu. Alasan si empunya studio rekaman, sebagaimana dituturkannya, hampir semua album rekamannya dibajak orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Alhasil, yang beredar di tangan orang-orang Bugis-Makassar itu adalah album bajakan!

“Lalu, apakah Daeng marah atau kecewa atas pembajakan album rekaman yang bikin Daeng tidak menerima royalti?” tanya saya.

Jawaban Iwan Tompo mengejutkan, “Ah, ndak ji’, saya malah bersyukur sebab suara saya didengar masyarakat luas. Ini bagus, toh?” Saya mengejar lagi, “Kok bisa Kita (Anda) bilang bagus, Daeng?”

“Saya akhirnya hidup dari panggung ke panggung. Ada ji’ dua atau tiga kali saya manggung di acara hajatan, khitanan, atau kawinan. Itu rezeki dan rezeki saya tidak dari rekaman, tetapi dari panggung ke panggung. Orang mau ngundang saya karena dengar lagu-lagu saya di CD atau VCD bajakan. Itu jadi semacam promosi gratis. Ndak ada alasan ji’ untuk marah atau kecewa!”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com