Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahaya yang Mengintai Setelah Pesawat Lama Tak Terbang karena Covid-19

Kompas.com - 16/12/2020, 19:09 WIB
Reska K. Nistanto,
Yudha Pratomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejumlah maskapai mengandangkan armada pesawatnya sejak awal pandemi Covid-19 merebak, karena permintaan perjalanan udara yang menurun.

Garuda Indonesia diketahui mengandangkan 70 persen armadanya pada Mei 2020. Lion Air Group, maskapai swasta terbesar di Indonesia, bahkan sempat menghentikan penerbangan pada bulan yang sama. AirAsia Indonesia juga menyimpan 96 persen pesawatnya.

Kini, setelah penerbangan udara mulai pulih, maskapai-maskapai pun mulai menerbangkan kembali pesawat-pesawat yang tadinya disimpan untuk mengangkut penumpang.

Terkait hal ini, maskapai diminta untuk berhati-hati saat mengaktifkan kembali armada pesawanya, setelah berbulan-bulan dikandangkan akibat pandemi Covid-19. Bukan hanya terkait pesawat, melainkan juga terkait sumber daya manusia (SDM).

Beberapa potensi bahaya yang muncul bisa disebabkan oleh pilot rustiness (kehilangan keterampilan menerbangkan pesawat karena jarang terbang), kesalahan perawatan, hingga serangga yang menyumbat sensor-sensor penting di pesawat.

Baca juga: Pesawat Boeing B737 MAX Resmi Boleh Terbang Lagi

Data yang disampaikan oleh International Air Transport Association (IATA) menunjukkan bahwa jumlah upaya pendaratan yang tidak stabil (unstabilised approach) di suatu bandara, meningkat drastis pada tahun ini.

Hal itu bisa menyebabkan hard landing, atau pesawat tergelincir keluar landasan (overshoot) atau bahkan kecelakaan. Sementara pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, menakutkan potensi bahaya (hazard) yang bisa muncul saat ini berasal dari kru.

"Kondisinya mereka saat ini jarang terbang, ngga current," ujar Gerry dihubungi KompasTekno, Rabu (16/12/2020).

Kondisi yang tidak dalam kesiapan 100 persen itu dikhawatirkan menjadi sumber kesalahan. Gerry mencontohkan insiden tergelincirnya pesawat Airbus A330 Lion Air di Kualanamu, Medan pada September lalu.

Insiden itu menurut laporan awal KNKT, terjadi setelah kru mendapat semacam "kelonggaran" dari regulator, dari yang seharusnya mendapat pelatihan ulang (recurrent) menjadi tidak, karena pandemi Covid-19.

Alhasil salah satu roda belakang A330 Lion Air registrasi PK-LEG itu sedikit keluar runway saat berputar di ujung landasan.

Baca juga: Lion Air Ganti Penyedia Navigasi dari Jeppesen ke Navblue

Hazard lain yang dikhawatirkan Gerry berasal dari GSE (ground support equipment), awak darat yang menangani pesawat sebelum dan sesudah terbang, seperti truk pengisi bahan bakar, katering, lavatory, tangga pesawat, dan sebagainya.

"Karena saking berkurangnya aktivitas, jadi waktu mulai gerak lagi, GSE bisa nabrak, truk nabrak, dan sebagainya," kata Gerry.

Meski demikian, Gerry menyebut potensi bahaya ini tidak akan bertahan lama. Karena begitu kru biasanya akan memenuhi persyaratan minimum dengan cepat, begitu mereka mulai terbiasa bekerja kembali.

Sementara dari sisi pesawat yang disimpan terlalu lama, Gerry mengatakan selama maskapai mematuhi anjuran pabrikan, bagaimana cara menyimpan dan mengoperasikan kembali pesawat setelah disimpan, maka seharusnya tidak ada masalah.

"Bahayanya kalau mereka buru-buru ingin mengaktifkan pesawat, waktu persiapan pesawat yang tadinya butuh lima hari, kemudian karena butuh segera angkut penumpang, kemudian persiapan jadi hanya tiga hari. Nah, di situ ada potensi hazard," imbuh pria berkaca mata itu.

Otoritas penerbangan Eropa (EASA) dikutip KompasTekno dari Reuters, Rabu (16/12/2020), juga menyebut bahwa ada tren kerusakan indikator kecepatan pesawat dan ketinggian, pada pesawat yang lama disimpan.

Baca juga: Banyak Dipakai di Indonesia, Pesawat B737 Ini Rawan Mati Mesin di Udara

Banyak kejadian data kecepatan dan ketinggian yang ditampilkan di kokpit tidak sesuai, saat pesawat pertama kali diterbangkan setelah lama disimpan.

Kebanyakan kasus, hal itu disebabkan oleh sensor yang kotor karena ada serangga atau kotoran lain yang menyumbat pitot tube.

Pada Juni lalu, maskapai Wizz Air membatalkan take-off setelah kapten penerbangan melihat kecepatan pesawat tetap nol.

Pemeriksaan menyeluruh dalam pesawat menemukan larva di salah satu lubang pitot tube, setelah pesawat diparkir 12 minggu. Saat itu, tidak ada penumpang yang diangkut.

Pitot tube yang tersumbat ini menjadi salah satu kontributor kecelakaan pesawat, seperti kasus yang dialami oleh Air France penerbangan AF447 pada Juni 2009 yang menelan 228 korban jiwa, dan pesawat charter Birgenair pada 1996 lalu, yang menewaskan 189 penumpang dan awak pesawat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com