Tidak jarang tokoh-tokoh publik seperti politikus mengutarakan hal-hal yang kurang tepat untuk menaikkan citra mereka. Dalam pembuatan hasil karya jurnalistik, sangat pamali bagi jurnalis untuk menyampaikan informasi yang menyesatkan publik.
Oleh sebab itu, bila ada sebuah informasi yang kurang bisa dipercayai, jurnalis bisa memanfaatkan AI untuk menyediakan platform fact checking secara real-time.
Untuk tujuan ini, jurnalis antara lain bisa memanfaatkan teknologi speech-to-text. Sekarang, sudah banyak platform yang menyediakan fitur speech-to-text.
Jurnalis bisa memanfaatkan natural language processing oleh AI untuk bisa mengecek kebenaran dari perkataan-perkataan yang dilontarkan oleh para tokoh publik—apakah ada data valid yang mendukung pernyataan mereka di internet atau basis data tertentu yang bisa diakses oleh jurnalis.
Meski begitu, kumpulan AI yang bisa diakses secara bebas oleh publik masih sering “berhalusinasi” dalam menyediakan informasi. Tak jarang informasi yang disuguhkan AI adalah informasi “khayalan” yang tidak pernah terjadi.
Untuk mengatasi hal ini, satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh jurnalis adalah mempelajari cara menyusun prompt agar AI dapat bekerja seakurat mungkin sesuai harapan.
Misal, menyediakan sebanyak mungkin informasi eksklusif yang berhubungan dengan topik yang hendak dibahas.
AI sebagai data journalist sudah harus dinormalisasi dalam bidang jurnalistik. Salah satu keunggulan dari penggunaan AI adalah kemampuannya untuk memproses dan menganalisis data dalam jumlah yang besar secara cepat dan efisien.
Salah satu pengaruh AI dalam bidang data journalism adalah memroses kebocoran data besar Panama Papers pada 2016. Tentunya akan memakan waktu yang sangat lama bagi manusia untuk menelaah data dari 11,5 juta dokumen.
Oleh sebab itu, sudah waktunya bagi data untuk dianalisis dan disaring oleh mesin atau AI. Bidang jurnalistik akan semakin maju bila AI bisa mengambil peran yang lebih besar dalam data journalism.
Dengan begitu, tenaga para jurnalis juga bisa dialokasikan ke hal lain yang lebih penting yang tidak bisa dilakukan oleh AI.
AI bisa menjadi analis tren, khususnya di media sosial. AI bisa memonitor kejadian dengan news values dari media sosial sehingga jurnalis tidak kalah cepat menyajikan berita dibanding media sosial.
Tidak perlu khawatir soal disinformasi karena AI bisa diatur untuk mengidentifikasi pola-pola disinformasi atau hate speech sehingga pemberitaan yang dilakukan jurnalis juga lebih efisien dan akurat.
AI juga bisa menganalisis reaksi dan engagement audiens sehingga jurnalis dapat mengerti preferensi konten audiens. Hal ini tentunya akan sangat membantu jurnalis dalam mengimprovisasi kualitas dan jenis konten yang disajikan kepada publik.
AI bisa membantu jurnalis mencari ide liputan. Tidak hanya itu, AI juga bisa membantu sebagai editor foto atau video yang akan ditayangkan dalam newsroom.
Salah satu software editing andalan jurnalis, Adobe, telah menyediakan berbagai layanan AI seperti yang disematkan dalam produk Photoshop dan Premiere Pro. Jurnalis bisa mengekspresikan kreativitas mereka melalui prompt kepada AI.
Misal, jurnalis bisa menjalankan prompt bagi AI untuk melakukan cutting video yang hendak ditayangkan sesuai dengan imajinasi. Layanan ini akan sangat berguna untuk mempercepat proses produksi.
Tidak hanya itu, AI juga bisa membantu jurnalis mencari kesalahan dalam script berita agar proses produksi semakin cepat.
Terakhir, AI bisa menjadi asisten pribadi jurnalis. AI dapat menolong jurnalis dalam hal-hal kecil seperti menjadwalkan wawancara, mencatat hasil rapat atau konferensi pers, dan membantu melakukan riset topik.
Jurnalis tidak perlu takut terhadap perubahan yang akan terjadi akibat AI. Jika AI bisa hebat, manusia pun memiliki potensi besar yang bahkan bisa melebihi AI.
Daripada takut kalah dengan AI, manusia harus memikirkan cara mengoptimalkan AI guna menghadapi beragam tantangan peradaban yang cenderung semakin kompleks.
Profesi jurnalis semestinya menjadi salah satu pekerjaan yang tidak dapat digantikan oleh AI. Sebaliknya, jurnalis dan AI bisa berkolaborasi untuk menciptakan karya-karya luar biasa.
Keduanya bisa berbagi tugas. AI mengerjakan tugas yang sangat biasa dan tidak membutuhkan kemampuan khusus, sedangkan jurnalis bisa memfokuskan diri mereka untuk mengerjakan hal lain yang memerlukan perhatian khusus.
Dengan ini, jurnalis berpeluang bisa semakin memuaskan hasrat publik akan kebenaran yang lebih komprehensif dan bermakna.
*) Mahasiswi Program Studi Digital Journalism di Universitas Multimedia Nusantara
**) CEO Kudu
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.