Hingga saat ini Kominfo belum merilis spektrum frekuensi khusus untuk 5G di 26 GHz dan 35 GHz, sementara frekuensi 700 MHz yang sudah di depan mata dan “bersih” pun, masih dibiarkan terlelap.
5G tidak hanya butuh milimeterwave itu, tetapi juga frekuensi rendah di 700 MHz, 850 Mhz hingga 2300 MHz berjangkauan luas yang cocok untuk layanan IoT (internet of things) untuk pertanian, perkebunan, perikanan.
Milimeterwave jangkauannya sempit yang lebih cocok untuk industri, transportasi nirawak, robotik yang secara permodalan sangat mahal.
Sejatinya operator ragu-ragu mengadopsi teknologi 5G karena bayangan biaya yang harus mereka tanggung, baik biaya modal maupun operasional, sangatlah besar. Apalagi 5G di milimeterwave butuh spektrum frekuensi lebar, setidaknya 100 MHz.
Beban operator terhadap biaya pemerintah akan makin tinggi jika harus menebus pita selebar 100 MHz, sementara di 2100 MHz saja per kanal 5 Mhz dan 2300 MHz mencapai triliunan rupiah.
Padahal penjualan frekuensi jadi cuan bagi pemerintah (Kominfo) dalam bentuk PNBP (pendapatan negara bukan pajak).
Target PNBP Kominfo beban berat operator, apalagi jika harga spektrum milimeterwave disamakan dengan mediumwave. Belum lagi besaran berbagai BHP (biaya hak penggunaan), baik BHP frekuensi atau pungutan pemerintah (regulatory cost) lainnya yang naik terus.
Operator mengeluh karena regulatory charge naik sesuai inflasi, melebihi kenaikan pendapatan operator, sehingga perbadingannya makin timpang.
Tahun 2013, porsi BHP terhadap pendapatan operator masih sekitar 6,7 persen, pada 2022 porsinya naik jadi 11,4 persen.
Biaya yang ditanggung PT Telkom pada 2022 masih 6,19 persen, sementara XL Axiata 13,72 persen, Indosat Ooredoo Hutchison 15,57 persen, Smartfren Telecom 15,69 persen.
Padahal data GSMA (GSM Association) mencatat, biaya spektrum frekuensi di kawasan Asia Pasifik sekitar 6,7 persen, global 7 persen.
Operator disarankan menangguk pendapatan baru non-frekuensi, seperti FMC (fixed mobile convergence). Xl Axiata duluan meluncurkan FMC, memadukan layanan nirkabel dengan jaringan serat optik, namun Telkomsel yang baru masuk ke industri ini tahun lalu langsung jadi pemimpin.
Belasan tahun layanan Indihome dikembangkan Telkom dengan teknologi kabel, tumbuh lebih baik setelah menginduk ke Telkomsel dan dipadu layanan seluler dan kini punya 10 juta pelanggan lebih.
Sementara XL Satu baru akan mendapat 8 juta pelanggan pada lima tahun ke depan, kira-kira sama dengan layanan FMC Indosat HiFi.
Tekanan terhadap operator tahun ini makin berat pula dengan masuknya layanan internet dari satelit orbit rendah (LEO – low orbit satellite). Layanan yang agresif saat ini dari Starlink milik taipan Elon Musk, yang di Indonesia sudah bekerja sama denganTelkomsat.
Masih ada calon operator LEO, antara lain OneWeb yang baru operasi atau 03B yang sudah kawak. Layanan satelit LEO tidak terbatas, bisa menjangkau manusia di mana pun asal di bawah langit terbuka yang diprediksi menjadi pesaing terberat operator seluler, walau ada kendala hambatan tarif.
Satelit Starlink hanya berfungsi sebagai backhaul yang menyambungkan sentra switching ke BTS-BTS para operator. Prosedur yang sama persis dengan layanan Satria-1, sementara harga bulanan layanan Starlink antara Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.
Bayangkan jika pelanggan harus bayar jutaan rupiah, sementara ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) industri hanya sekitar Rp 41.000.
Starlink tetap akan masuk dan kini mereka sedang mengurus IP Adress Indonesia, karena dengan IP Adress asing pemerintah Indonesia tak akan bisa mengawasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.