Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hafizh Nabiyyin
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet

Lulusan Hubungan International Universitas Potensi Utama Medan

kolom

Tolak Blokir X

Kompas.com - 20/06/2024, 10:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Diizinkannya penyebaran konten dewasa di X tanpa evaluasi berarti atas ketidakberdayaan X membendung penyebaran konten-konten NCII selama ini menimbulkan kekhawatiran penyebaran NCII maupun konten KBGO lainnya di platform itu akan semakin parah.

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa dalam aturan terbarunya, X menulis larangan terhadap “Konten yang mempromosikan eksploitasi, penolakan, objektivikasi, seksualisasi, pelecehan terhadap anak di bawah umur, dan perilaku cabul.”

Blokir medsos pelanggaran HAM

Kominfo sebelumnya sudah pernah memblokir Vimeo dan Reddit karena dianggap memfasilitasi penyebaran konten dewasa. Semangat ini yang tampaknya dibawa kembali ketika menanggapi kebijakan konten dewasa X yang baru.

Saat ini, Kominfo memang memiliki basis legal untuk memblokir platform media sosial yang dianggap melanggar hukum di Indonesia.

UU ITE versi terbaru mempersenjatai Kominfo dengan Pasal 40 ayat (2b) yang menyatakan pemerintah berwenang melakukan pemblokiran akses, penutupan akun, dan penghapusan konten yang memiliki muatan melanggar hukum.

Kominfo bisa saja berdalih bahwa pemblokiran X merupakan bagian dari upaya memberantas pornografi. Namun, pandangan-pandangan skeptis bahwa pemblokiran ini sebagai langkah negara untuk mengontrol suara-suara kritis di X juga valid rasanya.

Apalagi, selama ini, X kerap menjadi ruang aktivisme digital yang mampu memobilisasi massa di ruang fisik (seperti saat Reformasi Dikorupsi dan Tolak Omnibus Law), mendorong pengungkapan berbagai ketidakadilan sosial lewat slogan "no viral, no justice" (kasus Mario Dandy, berbagai kekerasan seksual, dan perundungan), hingga menjadi ruang diskursus berbagai persoalan sosial-politik lainnya.

Tanpa X, ruang bagi warga untuk berekspresi dan membaca diskursus kritis menjadi sulit ditemukan.

Pasalnya, media sosial terpopuler lainnya di Indonesia seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan Tiktok, mengandalkan konten-konten visual (gambar dan video), bukan tulisan seperti X.

Pemblokiran X dapat dianggap sebagai "internet shutdown", yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Collateral damage yang akan dihasilkan luar biasa bagi kebebasan berekspresi dan hak atas informasi 24,69 juta pengguna X di Indonesia (jumlah berdasarkan DataReportal).

Menurut Access Now, "internet shutdown" adalah “Gangguan internet atau komunikasi elektronik yang disengaja, sehingga tidak dapat diakses atau digunakan secara efektif, terhadap populasi atau dalam lokasi spesifik, seringkali dengan tujuan mengontrol arus informasi secara maksimal”.

"Internet shutdown" secara eksesif membatasi hak warga untuk bebas berekspresi dan mengakses informasi. Kedua hak tersebut memang merupakan derogable rights yang artinya dapat dibatasi.

Namun, pembatasan harus dilakukan dengan melakukan uji three part-test terlebih dahulu, yaitu asas legalitas, asas proporsionalitas-nesesitas, dan memiliki tujuan yang jelas.

Pemblokiran X jelas melanggar asas proporsionalitas. Bukan hanya penyebar konten dewasa yang menanggung akibatnya, tetapi seluruh pengguna X yang tidak melakukan pelanggaran hukum apapun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com