Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Tahun 2023 Operator Seluler Tidak Baik-baik Saja

Kompas.com - 03/01/2024, 08:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2024 diharapkan lebih baik, sejahtera, toleran dengan pemimpin yang mumpuni. Sektor telekomunikasi juga diharapkan demikian, lebih baik dari yang dikeluhkan sebagai “tidak baik-baik saja”.

Banyak kalangan menilai, perkembangan layanan seluler di negeri 17.000 pulau ini nyaris tidak beranjak ke level lebih baik, bahkan ada yang pesimistis menyebut sebagai mundur.

Tidak juga, banyak inovasi dilakukan operator dan regulator serta pemerintah – kita tidak punya lagi badan regulasi telekomunikasi – dan lembaga-lembaga terkait seperti Mastel sebagai think tank.

Tahun lalu lewat dengan penuh corengan di sektor telekomunikasi. Regulatornya – Menteri Kominfo – masuk penjara karena kasus korupsi, badan layanan umum-nya (BLU, Bakti – Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika) berjamaah (akan) masuk penjara sambil mencolek oknum di BPK, DPR, dan sebagainya.

Dana operasional Bakti semula “hanya” sekitar Rp 3 triliun setahun dari setoran semua operator berupa 1,25 persen pendapatan kotor mereka, tiba-tiba ada dana lebih dari Rp 14 triliun yang berasal dari APBN.

Menteri silau, BPK silau, DPR silau, lembaga-lembaga lain juga, sementara Bakti sebagai pemegang dana tertekan dan terbawa arus. Terjadilah korupsi yang dikatakan BPK sebesar Rp 8 triliun lebih, karena semua minta bagian, sebab merasa berhak.

Proyek sempat terhenti. Namun Menkominfo punya beban menyelesaikannya sebelum masa tugas kabinet berakhir tahun ini.

Dari 5.618 BTS (base transceiver station – stasiun radio dasar) sudah dibangun dan beroperasi 4.988 BTS 4G, sisanya yang 630 diakui sulit dilakukan terkendala keamanan dan kriminal.

Presiden Jokowi minta Panglima TNI dan Kepala Polri untuk mengawal pembangunan ratusan BTS tersisa, yang karena posisi titik pembangunan sangat sulit dicapai alat angkut.

Proses pembangunannya akan dikawal tentara dan polisi, tetapi perusakan oknum umumnya terjadi saat BTS beroperasi ketika tiada lagi aparat.

Padahal ada 22,5 juta penduduk Indonesia yang masih belum mendapat USO (universal service obligation – kewajiban layanan yang sama) untuk fasilitas telekomunikasi. Tidak hanya di Papua, juga di sebagian Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara serta Maluku.

Satelit VHTS (very high throughput satellite – satelit multi fungsi yang kemampuannya sangat tinggi), satelit Satria-1 sudah beroperasi meski penduduk di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) tidak serta merta bisa menikmatinya.

Masih harus dibangun lagi perangkat di bumi yang lain selain di 11 stasiun bumi, juga di 50.000 konsentrasi penduduk.

Beban “regulatory cost”

Di luar USO, Indonesia negara tertinggal dalam memberi layanan 5G, dan hanya berkutat di 4G LTE. Layanan operator di puluhan titik yang diklaim sudah ada jaringan 5G, hanyalah 5G rasa 4G.

Pemerintah lambat merespons keinginan masyarakat, sementera China, misalnya, sudah melangkah ke 6G.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com