Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada yang Kangen dengan Album Foto?

Kompas.com - 03/06/2015, 20:15 WIB
Wicak Hidayat

Penulis

KOMPAS.com - Anak 1990-an pasti tahu banget apa yang dimaksud dengan album foto. Lembaran-lembaran karton berperekat, dengan lapisan plastik transparan.

Biasanya, album foto itu bukan hanya berisi foto, tapi juga potongan dari majalah atau hal-hal lain yang dianggap penting atau menarik.

Sekadar contoh, seorang gadis 1990-an mungkin memasang foto dirinya  (sambil tersenyum mengenakan jaket jeans belel) di sebelah guntingan foto New Kids on The Block dari majalah remaja.

Sekarang, tindakan seperti itu mungkin lebih dikenal dengan nama scrapbooking. Ya, kurang-lebih sama sih. Tapi dulu pernak-pernik yang ditempel biasanya hasil perburuan, bukan beli paketan.

Kembali ke soal album foto itu. Rasa-rasanya saat ini kok album foto sudah tidak laku ya? Mungkin cuma saya pribadi saja, bukan hanya album foto, mencetak foto pun rasanya seperti sebuah perbuatan yang jadul.

"Anak digital" lebih suka menyimpan foto di ponselnya. Lalu, membagikannya via social media atau grup WhatsApp. Bahkan, foto-foto jadul pun sering difoto ulang untuk dibagikan kan?

Saya bahkan curiga, jangan-jangan tindakan menyimpan foto dalam hard disk terpisah pun sudah menjadi kegiatan yang terasa terlalu merepotkan.

Ini karena, menyimpan foto lewat awan sudah bukan hal aneh lagi. Apalagi setelah Google I/O 2015 lalu diumumkan adanya layanan Photos dari Google yang "unlimited".

Buat apa sibuk memindahkan foto ke hard disk kalau Google menyediakan ruang tak terbatas?

Menggiurkan

Menggiurkan sekali memang apa yang ditawarkan Google. Apalagi buat yang gemar memotret dengan smartphone Android (atau iOS).

Foto diunggah otomatis. Sudah diunggah otomatis, tak perlu sibuk memasang Tag juga. Karena semua bisa dilakukan juga secara otomatis.

Lebih serunya lagi, fitur Stories yang ada di Google Photos (dulu ada di Google+). Fitur ini bisa membantu sedikit banyak menggantikan Album Foto.

Google bisa mendeteksi otomatis foto-foto yang diambil dari satu kegiatan, misalnya berlibur, dan mengumpulkannya dalam satu tampilan bernama Stories.

Hal itu, ditambah fitur lainnya, memang bisa jadi penawaran yang membuat kita terlena. Amboi, betapa mudah hidup ini!

Dan ini bukan hanya soal layanan Google Photos lho! Sangat wajar jika tak lama lagi layanan itu akan disusul oleh penyedia layanan lain.

Apple, misalnya, lewat layanan iCloud-nya, atau Facebook yang terlihat cukup kuat ambisinya membuat pengguna makin lengket pada layanan mereka.

Jangan Terlena

Jadi, jangan terlalu larut dalam impian itu. Jelas ada beberapa hal yang berpotensi jadi masalah. Misalnya:

Pertama, apa yang akan dilakukan sang penyedia layanan dengan foto-foto itu? Bisakah kita sepenuhnya percaya? Seandainya foto itu digunakan untuk basis data menyodorkan iklan produk tertentu, relakah kita sebagai empunya foto?

Kedua, apa yang terjadi jika layanannya bobol? Baik karena kelalaian kita mengamankan kata sandi, atau hal-hal lain di luar kuasa pengguna. Insiden foto bugil artis Hollywood yang bobol dari layanan iCloud jadi contoh buruk yang patut diwaspadai.

Ketiga, kalau layanannya gratis, apakah ada jaminan bahwa foto itu akan terus tersedia untuk diakses. Bagaimana kalau penyedia layanannya bangkrut? Atau berubah haluan dan tidak lagi mau menyediakan layanan gratis? Akankah foto itu tersandera?

Kalau salah satu dari tiga hal itu kejadian, mungkin pengguna layanan itu tiba-tiba kangen dengan album foto. Setidaknya, dengan album foto fisik, kita tahu foto itu ada di mana.

Tentu saya bukan bermaksud menyarankan untuk kembali mencetak foto dan menggunakan album foto. Terlalu banyak hal yang membuat album foto itu, tidak praktis.

Misalnya, satu aspek dari album foto yang paling menyebalkan buat saya adalah jamur yang tumbuh di permukaan foto. Hal lain yang menyebalkan, album foto mengambil ruang banyak di rak buku atau lemari, padahal dinikmatinya setahun sekali pun belum tentu.

Lalu, solusinya apa? Untungnya, ini bukan kolom tips yang harus menyediakan solusi. Saya bisa dengan enaknya bilang: yuk, kita pikirkan bersama-sama (sambil tetap memanfaatkan layanan yang tersedia dengan hati-hati).


Tulisan ini adalah bagian dari seri kolom bertajuk Kolase. Ditulis sambil menerima kenyataan bahwa jadwal terbit kolom ini ternyata tidak bisa saklek.

Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari Editor KompasTekno, Wicak Hidayat. Opininya tidak menggambarkan opini perusahaan. Penulis bisa dihubungi lewat blog wicakhidayat.wordpress.com  atau twitter @wicakhidayat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com