Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hoaks di Twitter Lebih Gampang Menyebar dari Klarifikasi, Mengapa?

Kompas.com - 14/03/2018, 08:04 WIB
Wahyunanda Kusuma Pertiwi,
Reska K. Nistanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat (AS), menemukan fakta bahwa hoaks alias berita bohong lebih cepat menyebar dibanding berita klarifikasi/pembenarannya, di platform Twitter.

Bahkan, penyebar konten hoaks bukanlah bots atau program di sistem Twitter, melainkan tabiat manusia sendiri yang kerap me-retweet berita keliru tanpa pikir panjang.

"Ketika kami menghapus semua bots di dataset kami, perbedaan pola antara penyebaran berita bohong dan berita klarifikasinya tetap sama", jelas Soroush Vosoughi, salah satu peneliti Laboratory for Social Machines (LSM) MIT.

Penelitian ini juga memaparkan sebanyak 70 persen berita palsu lebih banyak di-retweet daripada berita asli atau klarifikasi.

Ketika peneliti mengamati "cascade" atau rantai retweet yang tidak teruputus, penyebaran hoaks mencapai 10 hingga 20 kali lebih cepat daripada faktanya. Sementara kecepatan penyebaran berita yang benar, enam kali lebih lamban dibanding berita palsu.

Baca juga: Heboh Persekusi di Media Sosial, Ini Kiat agar Tidak Jadi Korbannya

Mengapa hoaks di Twitter cepat menyebar?

Penelitian berjudul "The Spread of True and False News Online", juga mengamati pola persebaran berita terkait pengebomam di lomba lari marathon di Boston 2013 lalu.

Dalam penelitian tersebut dijelaskan, mengapa platform Twitter menjadi tempat subur beredarnya hoaks.

"Twitter menjadi sumber utama berita kita", jelas Vosoughi.

Dirinya menyadari banyak berita hoaks yang dikait-kaitkan dengan kejadian bom Boston 2013.

Dalam penelitiannya, mereka melacak 126.000 rantai retweet berita yang tersebar di Twitter, yang secara akumulatif telah dikicaukan lebih dari 4,5 juta kali oleh sekitar 3 juta orang dari tahun 2006 hingga 2017.

Untuk memastikan apakah berita tersebut benar atau tidak, mereka melakukan pengecekan melalui beberapa situs seperti factcheck.org, hoax-slayer.com, urbanlegends.about.com dan lainnya.

Hasilnya, berita politik paling mendominasi sekitar 45.000 berita. Diikuti oleh legenda urban, bisnis, terorisme, sains, hiburan, dan bencana alam. Itu artinya, berita palsu soal politik lebih banyak digemari dibanding kategori lain.

Mengapa berita palsu lebih "disukai" kebanyakan orang?

Alasanya cukup sederhana. Peneliti mengatakan, manusia senang tentang hal baru.

Baca juga: Google Sempat Bantu Penyebaran Hoaks Penembakan Las Vegas

"Berita palsu ibarat sesuatu yang lebih orisinil, dan orang suka membagi informasi baru yang orisinil", jelas Sinan Aral, salah satu profesor di MIT.

Ilustrasi aplikasi mobile Twitter.ist Ilustrasi aplikasi mobile Twitter.
Apalagi, jejaring sosial adalah panggung terbaik bagi orang-orang untuk menjadi pusat perhatian karena menjadi informan pertama, meskipun validasinya masih belum dapat dipastikan.

"Orang yang membagi informasi awal akan dilihat sebagai orang yang tahu", papar Aral.

Para peneliti juga memeriksa sisi emosional balasan tweet yang dilihat itu. Hasilnya, berita palsu memicu perasaan terkejut dan jijik yang lebih besar. Di sisi lain, berita asli menghasilkan ungkapan kesedihan, antisipasi, dan kepercayaan.

Cara mengatasi persebaran berita palsu

Aral melanjutkan jika hasil penelitian ini cukup mengkhawatirkan. Meskipun orang dengan sengaja atau tidak menyebarkan hoaks, fenomena ini tidak hanya didorong oleh niatan jahat, tapi banyak hal melatarbelakangi-nya.

Para peneliti ini berharap akan ada penelitian lebih lanjut untuk mengatasi persebaran informasi yang keliru.

"Memahami bagaimana penyebaran berita palsu adalah langkah pertama untuk mengatasinya," tulis para peneliti dalam laporan tersebut.

Baca juga: Menkominfo: Tugas Badan Siber Bukan Tangani Hoaks

Menurut Aral, jika hanya masalah bots, solusi yang ditawarkan adalah pendekatan teknologi.

"Saat ini intervensi perilaku menjadi sangat penting untuk melawan tersebarnya berita palsu", imbuhnya, sebagaimana KompasTekno rangkum dari Science Daily, Rabu (14/3/2018).

Jika beberapa orang sengaja menyebarkan berita palsu, sementara yang lain melakukannya tanpa ia sadari, maka fenomena tersebut menjadi dua bagian masalah yang butuh beberapa taktik untuk mencari solusinya.

Menurut Deb Roy yang juga terlibat penelitian ini, solusi paling sederhana yang bisa dilakukan adalah pikir dahulu sebelum me-retweet.

Para peneliti menambahkan jika fenomena ini mungkin tak hanya terjadi di platform Twitter.
Platform lain seperti Facebook, pun bisa menjadi lahan penyebaran hoaks.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com