Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Google dan Facebook di Bawah Tekanan ChatGPT...

Kompas.com - 31/01/2023, 07:00 WIB
Galuh Putri Riyanto,
Yudha Pratomo

Tim Redaksi

Tak heran bila Google menyalakan gerak cepat untuk melawan GPT. CEO Google Sundar Pichai dilaporkan megeluarkan "kode merah" seputar peluncuran produk berbasis AI di Google.

Kemungkinan kode merah itu menjadi pertanda bahwa produk AI milik Google harus segera diluncurkan ke publik.

Pichai juga dilaporkan memberikan "lampur hijau" untuk mempersingkat proses penilaian dan mengurangi potensi bahaya dari teknologi AI miliknya.

Diwartakan sebelumnya, Pichai juga mulai melakukan rotasi dan perombakan besar pada banyak tim di Google untuk menanggapi ancaman ChatGPT.

Bahkan, bos Google itu juga meminta arahan dari Larry Page dan Sergey Brin terkait strateginya menghadapi ancaman semacam ChatGPT. Padahal, duo pendiri Google itu sudah bertahun-tahun tidak terlibat aktif dalam operasional perusahaan karena sudah dialihkan ke Pichai.

Larry Page dan Sergey Brin kabarnya mengadakan beberapa pertemuan dengan para eksekutif Google bulan lalu guna menyusun strategi AI dan menyetujui rencana untuk melibatkan lebih banyak fitur chatbot ke mesin pencarian Google.

Keduanya juga ikut berperan dalam merancang dan menyetujui rencana baru, mengajukan ide hingga mendiskusikan masalah ChatGPT.

Teknologi AI sendiri sebenarnya bukan barang baru bagi Google. Misalnya, Google sebenarnya sudah punya chatbot serupa ChatGPT, namanya adalah Language Model for Dialogue Applications (LaMDA).

LaMDA bisa dibilang menjadi teknologi Google yang paling berpotensi menjadi kompetitor ChatGPT, termasuk kompetitor lainnya bernama Dall-E 2 yang bisa membuat gambar berdasarkan teks yang dimasukkan pengguna.

Lantas, mengapa ChatGPT dari OpenAI bisa lebih "sukses" ketimbang teknologi AI dari Google dan Meta?

Menurut profesor komputasi di Georgia Tech dan pakar pembelajaran mesin, Mark Riedl, sebenarnya teknologi yang mendasari ChatGPT belum tentu lebih baik dari yang dikembangkan Google dan Meta.

Tetapi, kata Riedl, laboratorium penelitian macam OpenAI berhasil memanfaatkan publik untuk meningkatkan teknologi chatbot AI miliknya.

"Selama dua tahun terakhir, OpenAI mereka telah memanfaatkan pengguna untuk memberikan umpan balik kepada GPT,” kata Riedl.

Umpan baliknya adalah seperti memberikan “jempol ke bawah” untuk jawaban yang tidak pantas atau tidak memuaskan dari chatGPT. Proses umpan balik manusia itu benar-benar menguntungkan OpenAI dan meningkatkan kemampuan ChatGPT seiring waktu.

Baca juga: ChatGPT Bakal Ada Versi Berbayar?

Di sisi lain, hal tersebut tampaknya tidak bisa dilakukan oleh Google dan Meta. Pasalnya, beberapa ahli etika AI khawatir bahwa bila perusahaan teknologi raksasa macam Google dan Meta tergesa-gesa merilis produk AI-nya ke pasar sebelum pakar kepercayaan dan keamanan dapat mempelajarinya risiko, produk itu dapat membuat miliaran orang terkena potensi bahaya.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com