Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng, CISA, ATD
Dosen STEI ITB & Founder Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Indonesia

Dimitri Mahayana adalah pakar teknologi informasi komunikasi/TIK dari Bandung. Lulusan Waseda University, Jepang dan ITB. Mengabdi sebagai Dosen di STEI ITB sejak puluhan tahun silam. Juga, meneliti dan berbagi visi dunia TIK kepada ribuan profesional TIK dari ratusan BUMN dan Swasta sejak hampir 20 tahun lalu.

Bisa dihubungi di dmahayana@stei.itb.ac.id atau info@sharingvision.com

kolom

Tren dan Isu 2023 "Cloud Computing" di Indonesia

Kompas.com - 10/04/2023, 08:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Isu adopsi cloud

Sekalipun minatnya kian meninggi, sejumlah isu adopsi mengemuka. Penulis menghimpun sejumlah temuan tantangan dengan tiga poin utama, yakni pengendalian biaya, manajemen keamanan, dan adanya kesenjangan skill.

Terkait dengan kesenjangan skill, teknologi cloud itu rumit sekali. Untuk mencapai keamanan tingkat enterprise, apalagi seperti industri finansial dan eCommerce, berbagai macam hal perlu dilakukan.

Padahal, kompleksitas itu berkorelasi dengan reliability. Kalau ada masalah komponen cloud yang tidak dipahami dengan baik, maka seluruh layanan IT kita akan bermasalah.

Sudah tentu, dari tiga poin tantangan tersebut, ujung-ujungnya isu biaya menjadi paling mengemuka.

Sebab, perusahaan pengguna merasa ada kenaikan biaya public cloud dalam setahun terakhir dengan kenaikan lebih di atas 50 persen. Mayoritas perusahaan mengeluarkan biaya tidak terduga dalam tagihan cloud mereka yang dapat menghabiskan anggaran yang diperlukan untuk area transformasi lainnya.

Kerumitan cloud menyebabkan adanya hidden cost. Walaupun penyedia cloud menyediakan tool cost estimation, banyak kasus prediksi suatu perusahaan kurang.

Misalnya, terlewat memperhitungkan cost layanan B yang ternyata juga terhitung ketika layanan A digunakan, atau terlewat memperhitungkan biaya network transfer.

Sehubungan dengan melambungnya biaya cloud, ada tiga contoh kasus. Pertama, layanan berbagi file, Dropbox, memutuskan menggunakan infrastrukturnya sendiri dan melaporkan tingkat laba kotor meningkat menjadi 67 persen.

Pada tahun 2016, Dropbox memutuskan melakukan cloud repatriation dari AWS dan menggunakan infrastrukturnya sendiri. Dropbox melaporkan, perusahaan sudah berhemat 75 juta dollar AS dengan beralih dari cloud ke infrastrukturnya sendiri.

Kedua, perusahan web 37signals memutuskan memindahkan dua produk utamanya dari cloud ke on premises setelah menganalisa bahwa produk utama tersebut tidak termasuk dalam kondisi yang cocok untuk menggunakan cloud. Mereka sudah menghabiskan 3,2 juta dollar AS untuk kebutuhan cloud.

Ketiga, Milkie Way, startup yang hampir bangkrut setelah menggunakan cloud run dan firebase karena tagihan 72.000 dollar AS untuk mencoba dua layanan tersebut. Mereka akhirnya berhenti karena tagihan luar biasa dari penyedia cloud.

Saat itu, free plan yang digunakan otomatis terungkit ke paid account, padahal perusahaan belum sepenuhnya memahami penggunaan layanan Cloud tersebut.

Maka terdapat isu yang fundamental, yakni kapankah sebuah perusahaan/lembaga sebaiknya menggunakan layanan data center atau infrastruktur berbasis cloud, dan kapan sebaiknya tetap menggunakan layanan on-premise yang dimiliki dan dikelola sendiri perusahaan?

Mengambil pelajaran kasus serupa Dropbox, Web 37signals, dan Milkie Way di atas, perusahaan-perusahaan dengan tingkat workload tinggi dan jenis layanan teknologi informasi skala besar yang rutin, maka infrastruktur on-premise bisa lebih efisien dibandingkan cloud computing.

Bagi perusahaan seperti ini, penggunaan cloud sebagai layanan data center utama bisa berdampak perdarahan finansial yang serius, apalagi untuk kasus perusahaan yang memiliki layanan digital sebagai layanan utama perusahaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com