Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Starlink, Ancaman Nyata GEO dan Operator Seluler

Kompas.com - 11/09/2023, 08:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEROPERASINYA Starlink milik Elon Mask dikhawatirkan banyak operator seluler akan memorak-porandakan bisnis mereka yang sudah eksis sejak dekade 80-an abad lalu.

Teknologi canggih “BTS Langit” itu membuat kemapanan operator seluler terusik.

Sebagian mereka meminta pemerintah turun tangan, membuat barikade perlindungan agar tercipta bisnis yang berimbang, the same playing field dengan Starlink.

Sejak lebih 40 tahun lalu, operator seluler membangun BTS (base transceiver station) untuk menjangkau sebanyak mungkin pelanggan dengan biaya besar, terutama kelak saat 5G diadopsi.

Namun satelit mampu menjangkau pelanggannya di mana pun, di kota atau di tengah lautan, di tengah kerimbunan hutan belantara walau tarifnya pasti tidak akan “semurah” tarif seluler.

Pelanggan ponsel hanya bermodal ponsel dan dengan Rp 20.000 sebulan bisa berhalo-ria dengan relasinya di belahan dunia mana pun, sepanjang ada jaringan seluler.

Tampaknya tidak hanya operator yang akan terusik, layanan satelit Satria1 milik Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) Kementerian Kominfo, bisa bernasib sama.

Satria1 berkapasitas 150 Gigabit per detik (Gbps), semula akan dibagikan ke 150.000 titik di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal), namun itu hanya akan meratakan masing-masing 1Mbps di tiap titik.

Akhirnya diputuskan pembagian kapasitas hanya untuk 50.000 titik, diharapkan masing-masing akan mendapat 4 Mbps.

Namun jasa Satria1 ataupun Starlink, tidak serta merta bisa dimanfaatkan masyarakat pengguna begitu kedua satelit itu beroperasi.

Harus ada perangkat-perangkat teknologi di bumi yang akan menyambungkan sinyal-sinyal satelit ke ponsel atau komputer pelanggan, antara lain modem satelit.

Karenanya biaya akses Starlink, misalnya, atau Iridium, GlobalStar, OneWeb, Odyssey, berpuluh kali lipat lebih mahal dibanding biaya seluler.

Ini membuat penerima UMR, bahkan karyawan dan pengusaha kelas menengah pun akan berhitung ulang kalau harus membayar biaya layanan BTS Langit ala Starlink yang Rp 2 juta – Rp 3 juta sebulan.

Ribuan satelit Starlink sebagai BTS di langit terbang mengitar di ketinggian antara 500 km hingga 2.000 di atas permukaan bumi.

Mereka disebut sebagai satelit LEO (low earth orbit), satelit yang mengorbit bumi di ketinggian rendah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com