Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amir Sodikin
Managing Editor Kompas.com

Wartawan, menyukai isu-isu tradisionalisme sekaligus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Bergabung dengan harian Kompas sejak 2002, kemudian ditugaskan di Kompas.com sejak 2016. Menyelesaikan S1 sebagai sarjana sains dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dan S2 master ilmu komunikasi dari Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. 

kolom

Spotify, Menguji Bisnis “Freemium” di Indonesia

Kompas.com - 31/03/2016, 09:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Dari sisi konsumen atau pengguna, penekanan pertama adalah pada layanan gratisnya. Ini yang dikatakan Pendiri dan CEO Spotify Daniel Ek sebagai cara untuk menarik konsumen secara massal agar mau menikmati musik di platform yang bisa menjaga hak cipta.

Sedangkan dari sisi produsen, sisi yang ingin ia tekankan adalah pada kemungkinan konsumen untuk menjadi pelanggan berbayar.

Spotify berkeyakinan, makin banyak pengguna yang menikmati dan mengapresiasi musik, maka makin banyak orang yang akan rela membayar layanan premium.

Pada prinsipnya, pengguna gratis bisa mengakses tak terbatas lagu-lagu yang ada di Spotify. Namun, ada lagu-lagu tertentu yang hanya disediakan untuk pengguna premium atau berbayar.

Bagi orang yang level adiksi terhadap musik tak begitu keterlaluan, maka layana gratis sudah lebih dari cukup. Di Indonesia, untuk menikmati layanan premium harus membayar Rp 50.000 per bulan.

Pengguna premium akan menikmati layanan tanpa iklan, kualitas audio yang lebih bagus (bitrate hingga 320kbit/s, berbanding dengan 160kbit/s untuk Spotify gratis), dan bisa memutar lagu secara offline atau luring.

Para kompetitor biasanya selalu memandang sinis semua inisiatif model bisnis freemium.  Menganggap bahwa model freemium bukanlah model yang berkelanjutan untuk menunjang industri musik.

Namun perlu juga ditegaskan, sebenarnya hanya pemodal besar yang sanggup menjalankan bisnis freemium. Spotify bisa melakukan ekspansi pasar yang signifikan karena didukung oleh para “angel investor”.

Kontroversi freemium

Spotify tak lepas dari kontroversi freemium ini. Akhir 2014 lalu, dikutip dari musicbusinessworldwide.com, penyanyi Taylor Swift  menolak album “1989” dimasukkan dalam Spotify.

Bagi Taylor Swift, musik seharusnya tak digratiskan karena di belakang karya musik banyak pekerja kreatif yang terlibat.

Sama seperti Taylor Swift, Adele juga menolak untuk memasukkan album “25” dalam Spotify. Penolakan itu untuk memproteksi agar semangat peluncuran album barunya tak digerogoti oleh platform gratis.

Kompas.com/Bidik layar dari Spotify Salah satu album Coldplay di Spotify
Masih mengutip dari musicbusinessworldwide.com, Coldplay juga menjalankan pilihan yang sama. Namun, pada akhirnya Coldplay membolehkan Spotify untuk menampilkan album barunya “A Head Full Of Dreams” pada sepekan setelah albumnya dirilis.

Pembelaan Daniel Ek

Pembelaan pendiri dan CEO Spotify, Daniel Ek, dimuat di musicbusinessworldwide.com pada akhir 2014 lalu. “Taylor Swift betul. Musik adalah seni, seni memiliki nilai, dan artis yang terlibat harus dibayar,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com