Sejauh ini, Loose Change yang memiliki enam edisi itu diklaim sudah ditonton oleh lebih dari 100 juta orang sehingga menjadi salah satu dokumenter independen yang paling populer sepanjang masa. Kepopuleran edisi pertama Loose Change ini juga tak lepas dari internet.
Meski media sosial belum menjamur seperti sekarang, dulu, fans serial ini sudah bisa mengunggah video Loose Change ke situs berbagi video seperti Google Video, pesaing YouTube yang sekarang sudah ditutup.
Di sana, video Loose Change yang berisi teori konspirasi itu tersedia gratis secara online sehingga dilihat jutaan kali. Loose Change pun diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Dihimpun KompasTekno dari New York Times, Minggu (12/9/2021), tautan menuju video Loose Change antara lain beredar luas melalui e-mail, dari satu orang ke orang lain dan seterusnya.
Dengan popularitas yang didulang Loose Change, Jonathan Kay, seorang jurnalis Kanada yang menulis buku tentang para truther, berpendapat bahwa serial ini berhasil mengubah teori konspirasi dari hobi pasif menjadi aktivitas sosial.
Padahal, karena didasari teori-teori konspirasi yang sudah dibantah, Loose Change bisa dikategorikan sebagai sebuah disinformasi.
Baca juga: 3 Cara Mengenali Kabar Hoaks di Internet
Menurut Kay, teori konspirasi seperti ini tak akan pernah hilang, tidak peduli seberapa kuat teori-teori konspirasi itu dibantah atau diperiksa faktanya (fact check).
Loose Change seakan menjadi contoh atau template untuk video disinformasi yang beredar setelahnya, mulai dari video TikTok tentang child trafficking hingga posting Facebook soal obat penyembuh Covid-19.
Seperti Loose Change dulu, sekarang pun banyak klaim palsu yang viral dan mendapatkan engagement tinggi di internet.
Dalam laporan itu, pemerintah AS mengklaim telah mencoba melakukan beberapa skenario untuk mengatasi serangan 9/11 ini, alias tidak membiarkannya terjadi begitu saja.
Komando Pertahanan Dirgantara Amerika Utara (NORAD) dan Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) telah berkoordinasi untuk menanggapi serangan 9/11. Kala itu disebut sudah ada dua pesawat tempur siaga untuk mencegat pesawat yang tengah dibajak
Namun, NORAD mengatakan, komando perintah untuk menembak jatuh pesawat komersial harus dikeluarkan oleh Otoritas Komando Nasional (sebutan untuk presiden dan menteri pertahanan), bukan NORAD.
Baca juga: Secret Service AS Rilis Foto-foto Kejadian 9/11 yang Belum Pernah Terungkap
Tidak adanya perintah untuk menembak jatuh ini juga disebabkan oleh anggapan NORAD dan FAA yang mengira bahwa kejadian tersebut hanyalah pembajakan biasa.
Mereka tak menyangka bahwa empat pesawat yang dibajak itu akan diubah menjadi "pembajakan bunuh diri yang dirancang untuk mengubah pesawat menjadi 'rudal' untuk menghancurkan target".
Kala itu, NORAD juga belum memiliki protokol keamanan untuk insiden pembajakan pesawat komersil yang diubah menjadi "rudal" penghancur, seperti yang dilakukan kelompok militan pada empat pesawat komersil AS.
"Untuk apa yang akan terjadi pada pagi hari 9/11, protokol yang ada tidak cocok dalam segala hal," tulis laporan.
Di samping itu, hingga kini, belum ada laporan atau penelitian mana pun yang berhasil memaparkan bukti kuat soal keterlibatan pemerintah AS dalam serangan Nine Eleven.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.