Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa Mau Hidup Seperti Binatang?

Kompas.com - 12/05/2015, 19:20 WIB
Wicak Hidayat

Penulis

Karakter? Ya, mungkin saja. Insting bertahan hidup manusia, yang sudah diasah oleh jutaan tahun evolusi, membuat manusia dalam kelompok saling mengandalkan.

Mungkin itu yang dimaksud dengan karakter?

Kejamnya alam vs kejamnya manusia

Alam memang kejam. Senantiasa alam seakan-akan bersekongkol untuk membunuh manusia. Tak percaya? Simak kisah nyata Christopher Mccandless dalam Into The Wild.

Namun itu bukan berarti manusia tidak bisa selaras dengan alam. Hal itu akan terjadi saat manusia memahami bahwa dirinya bagian dari alam. Bumi memberi, bumi juga yang mengambil. Kira-kira begitulah prinsipnya.

Tetapi kekejaman alam, kadang tak sekejam manusia sendiri. Ini kerap terjadi di dunia digital, terutama saat berinteraksi di media sosial.

Di balik topeng "tanpa nama" manusia kerap menjadi kejam dan buas. Mampu melontarkan ejekan, ledekan, hinaan, dan cacian semudah menyentuh layar smartphone-nya yang kinclong itu.

Pada kondisi yang tepat -- kenyang dan puas -- mungkin penerima serbuan itu bisa mengambil nafas dan mengenyahkan perasaan tidak enak. Namun dalam kondisi lain, serbuan "di dunia maya" itu sungguh bisa terasa nyata.

Siapa bilang serangan di dunia maya itu tidak nyata? Jika yang diserang adalah manusia sungguhan dan hati yang luka adalah perasaan sungguhan, serangan itu menjadi sama nyata dengan serangan fisik.

Komedian Jimmy Kimmel, yang cukup ternama di Amerika Serikat, punya cara jitu untuk membantu mengatasi kekejaman ini. Ia menghadirkan tokoh terkenal untuk membaca tweet keji tentang diri mereka.

Tak tanggung-tanggung, di antara tokoh yang pernah muncul dalam segmen bertajuk "Mean Tweets" itu adalah Presiden AS Barack Obama.

Apa yang dilakukan Kimmel bisa membantu kita dengan melihat bahwa tokoh terkenal pun mau membaca tweet yang paling kejam. Kita bisa menemukan kesamaan pada reaksi mereka saat membaca tweet keji itu.

Selain itu, apa yang muncul juga menunjukkan betapa bodohnya ucapan keji seseorang di media sosial. Tak hanya menertawakan para tokoh, kita juga dibuat bercermin: jangan-jangan kita pernah membuat tweet sekejam itu.

Entah lebih efektif, tapi yang pasti lebih menghibur dibandingkan menjebloskan seseorang di penjara hanya gara-gara tulisan di media sosial kan?


Tulisan ini adalah bagian dari seri kolom bertajuk Kolase. Ini kali kedua Kolase, yang harusnya terbit siap Senin, muncul terlambat. Harap maklum, "binatang" kadang lupa jadwalnya manusia. 

Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari Editor KompasTekno, Wicak Hidayat. Opininya tidak menggambarkan opini perusahaan. Penulis bisa dihubungi lewat blogwicakhidayat.wordpress.com atau twitter @wicakhidayat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com