Hidung pesawat mendongak hingga sudut 45 derajat, menyebabkan pesawat naik hingga ke ketinggian 38.000 kaki.
Dalam posisi angle of attack besar, pesawat masuk dalam kondisi upset (susah dikendalikan), dan memicu stall (pesawat kehilangan daya angkat).
Input yang terekam FDR dari sidestick sebelah kanan merekam posisinya ditarik ke belakang hingga pesawat naik dengan kecepatan 11.000 kaki per menit dengan angle of attack lebih dari 40 derajat.
Kecepatan pesawat terendah adalah 55 knots saat mulai stall, dan saat jatuh bebas kecepatannya fluktuatif antara 100 hingga 170 knots.
Pesawat jatuh bebas tanpa kendali dari ketinggian 38.000 kaki dengan kecepatan vertikal antara 12.000 kaki hingga 20.000 kaki per menit (4.000 - 6.000 meter per menit).
Komunikasi yang membingungkan
Dalam kondisi stall tersebut, pesawat jatuh dalam posisi datar, bukan menukik. Untuk lepas dari kondisi stall, hidung pesawat harus diturunkan agar pesawat mendapat kecepatan dan aliran udara ada di sayapnya, sehingga pesawat perlahan bisa dibawa naik kembali.
Dan itulah yang hendak dilakukan oleh kapten penerbangan yang duduk di kiri. Data FDR menunjukkan input sidestick kiri didorong ke depan mencoba untuk menurunkan hidung pesawat.
Data CVR (cockpit voice recorder) yang diungkap oleh KNKT menunjukkan pilot memerintahkan agar hidung pesawat diturunkan. CVR merekam pilot berteriak "Pull down.. Pull down.." beberapa kali.
Namun kopilot yang duduk di sebelah kanan berdasar data FDR, memberi input joystick yang ditarik penuh ke belakang, yang berlawanan dengan input yang diberikan oleh kapten di sebelah kiri yang mendorong sidestick ke depan. Terjadi dual input dalam kondisi yang kritis.
KNKT menyimpulkan bahwa komunikasi yang dilakukan antara pilot dan kopilot tidak efektif dalam kondisi kritis tersebut. Pilot memberikan instruksi yang membingungkan kepada kopilot dengan kata "Pull down," alih-alih perintah lainnya seperti "Push forward."
Kebingungan ini yang diduga menyebabkan kopilot menarik (pull) joystick ke belakang sidestick-nya hingga akhir rekaman FDR.
Dalam kasus dual input sidestick ini, Airbus telah mengatur prosedur pertukaran siapa yang memegang kendali. Jika ingin mengambil alih kendali, phraseology yang digunakan adalah "I have control" atau "You have control" yang diikuti dengan menekan tombol priority stick di tuas kemudi.
Jika terjadi dual input pun prosedur yang ditulis Airbus mengatakan, tombol priority harus ditekan dan ditahan selama 40 detik untuk meng-overide sidestick yang lain. Namun dalam catatan FDR, tombol priority di tuas kemudi kiri (sisi kapten) hanya ditekan dan ditahan beberapa saat, 2 hingga 5 detik saja.
Karena ada dua input sekaligus, maka logika komputer akan mengambil nilai tengahnya. Sebagai contoh, jika sidestick kiri ditarik ke belakang dengan nilai +15, sementara sidestick kanan diturunkan dengan nilai -10, maka input yang diterima komputer adalah +5 saja.
Karena dual input yang berkepanjangan ini QZ8501 tidak bisa recover dari stall, hingga jatuh di perairan selat Karimata.
Investigasi modul RTLU (Rudder Travel Limiter Unit)
Badan SAR Nasional (Basarnas) berhasil mengangkat bagian ekor pesawat PK-AXC dar dasar laut. Bagian ekor pesawat dengan vertical stabilizer (sirip tegak) yang relatif utuh itu adalah bagian penting karena di dalamnya terdapat modul RTLU yang telah dicurigai sebagai penyebab jatuhnya QZ8501.
Kecurigaan tersebut muncul berdasar catatan perawatan pesawat yang menyebut dalam satu tahun terakhir terjadi 23 kali kerusakan terkait dengan unit RTL tersebut.
RTLU yang diambil dari reruntuhan pesawat A320 registrasi PK-AXC tersebut dikirim oleh KNKT ke biro penyelidik kecelakaan pesawat udara Perancis, BEA pada 16 Juni 2015.
Pemeriksaan komponen papan sirkuit yang dilakukan oleh BEA menunjukkan bahwa papan sirkuit channel A dan B memiliki retakan dalam timah solderannya.
"Retakan tersebut bisa membuat aliran listrik tersendat-sendat dan membuat RTLU gagal berfungsi," demikian tulis laporan KNKT.
BEA menyimpulkan, keretakan tersebut bisa diakibatkan oleh siklus panas yang dihasilkan saat perangkat menyala dan dimatikan, serta perbedaan kondisi lingkungan yang dialami selama di darat dan di udara.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara KNKT, Kapten Nurcahyo Utomo di kantor KNKT, Selasa (1/12/2015).
"Kondisi bagian ekor menjadi sangat panas saat di bandara dan sangat dingin ketika berada di udara, bahkan sampai berada di bawah 50 derajat celsius," demikian kata Nurcahyo.
Arus listrik yang tersendat-sendat dalam papan sirkuit yang mengontrol RTLU inilah yang memunculkan pesan di kokpit yang berulang-ulang.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.