Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Facebook dan YouTube Dituding Sebarkan Misinformasi Vaksin Covid-19

Kompas.com - 27/07/2021, 07:08 WIB
Wahyunanda Kusuma Pertiwi,
Yudha Pratomo

Tim Redaksi

Sumber Reuters

KOMPAS.com - Ketegangan Pemerintah AS dengan perusahaan media sosial belum mereda.
Presiden Joe Biden sempat menyebut Facebook sebagai pembunuh.

Kini, Gedung Putih menuding Facebook dan YouTube sebagai pihak yang bertanggungjawab atas maraknya informasi salah tentang vaksin Covid-19.

Pemerintah Amerika Serikat menilai upaya Facebook dan YouTube untuk memberantas penyebaran misinformasi tidak maksimal.

Seorang pejabat senior di Gedung Putih mengatakan Facebook dan YouTube tidak konsisten dalam penegakan aturan terhadap dalam menangani misinformasi ini.

Ia menganggap, Facebook dan YouTube seharusnya bisa memutuskan hal apa saja yang memenuhi syarat agar sebuah konten untuk dianggap sebagai misinformasi. Namun, Gedung Putih menilai kinerja kedua media sosial ini tidak memuaskan.

"Facebook dan YouTube ... adalah hakim, juri, dan eksekutor terkait apa yang terjadi di platform mereka. Mereka harus bisa menilai pekerjaan rumah mereka sendiri," kata pejabat Gedung Putih.

Facebook sendiri telah membubuhkan label di setiap unggahan terkait Covid-19 yang ada di platformnya maupun anak perusahaannya, termasuk Instagram. Namun, agaknya upaya itu belum cukup bagi Gedung Putih.

Baca juga: Presiden Biden Sebut Facebook dkk Membunuh Masyarakat

Di sisi lain, pemerintah AS juga menyoroti beberapa informasi yang dinilai harus masuk kategori misinformasi.

Misalnya, informasi yang mengklaim bahwa vaksin tidak efektif, adanya chip mikro yang tertanam di dalam vaksin, dan dampak buruk vaksin terhadap kesuburan wanita.

Sebelumnya, juru bicara Joe Biden dan ahli bedah umum kenamaan AS, Viviek Murthy, mengatakan bahwa meluasnya informasi keliru terkait vaksin membuat pemerintah semakin sulit mengendalikan pandemi dan menyelamatkan nyawa warganya.

Menurut laporan dari Pusat Penanggulangan Kebencian Digital (CCDH), ada 12 akun anti-vaksin yang menyebarkan hampir dua per tiga misinformasi yang merajalela di platform online. Enam dari 12 akun disebut masih aktif mengunggah kiriman di YouTube.

"Kami ingin melihat usaha yang lebih lagi dari semua pihak untuk menghambat penyebaran informasi yang tidak akurat dari akun-akun tersebut," jelas perwakilan Gedung Putih.

Target meleset

Melawan misinformasi tentang vaksin menjadi prioritas utama pemerintahan Biden saat ini. Di Amerika Serikat, target vaksinasi meleset dan laju percepatan vaksinasi mulai melambat.

Pemerintah menargetkan 70 persen warga usia dewasa mendapatkan vaksin pada 4 Juli lalu.
Namun, angka tersebut belum tercapai saat jatuh tempo. Di sisi lain, AS juga memiliki risiko peningkatan kasus kembali akibat penyebaran varian Delta.

Pendiri sekaligus kepala eksekutif CCDH, Imran Ahmed menggambarkan Facebook sebagai "raksasa" misinformasi yang menyesakkan.

Elena Hernandez, juru bicara YouTube mengatakan sejak bulan Maret tahun 2020, pihaknya telah menghapus lebih dari 900.000 video yang memuat misinformasi tentang Covid-19.
YouTube juga telah menangguhkan kanal YouTube yang teridentifikasi oleh CCDH.

Hernandez menambahkan, kebijakan perusahaan didasarkan pada konten yang diunggah, bukan diputuskan berdasarkan pembicaranya.

Baca juga: 3 Cara Mengenali Kabar Hoaks di Internet

"Apabila ada kanal lain yang disebutkan dalam laporan tersebut terbukti melanggar kebijakan kami, kami akan mengambil tindakan, termasuk pemblokiran permanen," jelas Hernandez, dirangkum KompasTekno dari Reuters, Selasa (27/7/2021).

YouTube berencana menambah lebih banyak informasi seputar kesehatan yang lebih kredibel di platformnya, termasuk tab khusus.

Disebut "pembunuh"

Sementara itu, seorang pejabat senior mengungkap empat masalah yang disoroti pemerintah dan telah meminta data spesifik dari Facebook. Namun, perusahaan jejaring raksasa itu enggan mematuhinya.

Data spesifik yang dimaksud di antaranya adalah berapa jumlah misinformasi yang tersebar di platform mereka, siapa saja yang melihat klaim tidak akurat, apa saja yang sudah dilakukan perusahaan untuk menangkal misinformasi, dan bagaimana Facebook mengukur keberhasilan langkah mereka.

Juru bicara Facebook, Kevin McAlister, mengklaim perusahaan telah memberangus lebih dari 18 juta misinformasi terkait Covid-19 sejak pandemi menghantam dunia pada awal 2020.

Facebook juga sesumbar keraguan pengguna Facebook terhadap vaksin menurun hingga 50 persen sejak bulan Januari dan penerimaan akan vaksin kini sudah meningkat.

Ketika Biden menyebut Facebok dkk sebagai "pembunuh" karena misinformasi vaksin, Facebook mengatakan bahwa pemerintah justru memutarbalikkan fakta.

Baca juga: Dituduh Bunuh Masyarakat, Facebook Sebut Presiden Biden Memutarbalikkan Fakta

Facebook juga meminta agar pemerintah AS tidak asal menuduh mengenai melesetnya target vaksin 4 Juli lalu.

Dalam blog resmi Facebook, Guy Rosen, Vice President of Integrity Facebook, menjabarkan langkah-langkah yang telah mereka ambil untuk menangkal misinformasi vaksin. Tapi menurut Gedung Putih, Facebook tidak menyebutkan metrik keberhasilannya.

Belakangan, Biden meluruskan pernyataan awalnya yang menyebut Facebook dkk sebagai pembunuh.

"Facebook bukan membunuh orang, 12 orang (akun anti-vaksin) memberikan misinformasi. Semua orang yang mendengarkannya, tersakiti oleh informasi itu. Hal itu yang membunuh orang. Itu adalah informasi yang buruk," kata Biden dalam sebuah wawancara, melansir dari CNN.

Presiden AS ke-46 itu berharap Facebook tidak menangkap pernyataan awalnya secara pribadi dan lebih bekerja keras menangkal misinformasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com