Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Babi Hutan Perusak BTS

Kompas.com - 24/10/2022, 11:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Warga berbagai kampung Papua dididik menjadi penjaga BTS, dan mereka umumnya tinggal di dekat BTS. Di antaranya pemilik atau bekas pemilik tanahnya.

Seperti Matheus Jenda (38), penjaga BTS kawasan hutan dan perbukitan di Klagana, Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat, yang ikut “kursus kilat” tiga hari yang dimulai Kamis (20/10), sebagai penjaga BTS di tanah keluarganya.

Ia diberi pengetahuan tentang apa isi satu halaman seluas kira-kira 400 meter persegi itu.

Pekerjaan yang memberi penghasilan tetap ini menjadi berkah baginya, kerjanya enteng, walau rumahnya di balik bukit sejarak 150 meter dari BTS.

Gajinya sebagai penjaga bisa menutup sebagian biaya pulsa dan data baginya, istrinya dan tiga anaknya yang sekolah di Aimas, 15 kilometer dari Klagana.

Sehari-hari Matheus berladang kebun pisang yang beberapa hari sekali hasilnya dijual ke pasar.

Berbekal Samsung A3 yang dibelikan istri, guru SD, ia bisa mengecek harga di pasar Aimas sebelum pergi. Tanpa itu, acapkali ia pulang dengan tangan kosong atau pisangnya dibeli murah.

Sebulan ia menghabiskan uang Rp 120.000 untuk paket seluler Telkomsel, belum lagi untuk istri dan ketiga anaknya yang sudah sekolah.

Keberadaan layanan seluler generasi keempat (4G) di kawasan 3T turut membantu ekonomi keluarganya.

Berbagai kemudahan komunikasi membuat semua kegiatan ekonomi, belajar mengajar dan juga layanan kesehatan dan kepemerintahan setempat serta keamanan, makin mudah saja.

Senjata rakitan

Anton Buarlila yang rumahnya sebelah BTS di Klagana, mengojek selain berkebun pisang dan pemburu babi – profesi sampingan karena babi jadi hama – membuatnya hidup lebih nyaman walau biaya sehari-hari tampaknya lebih mahal dibanding, penduduk Kebumen, Jawa Tengah.

“Di sini sayur seikat harganya Rp 15.000 – Rp 20.000, beras kualitas standar Rp 13.000,” katanya.

Pisang yang dijual ke pasar dua minggu sekali bisa memberinya pendapatan sejuta rupiah, juga menjual daging babi hasil buruannya.

Kata seorang petugas konsorsium yang bekerja untuk Bakti Kominfo, harga seekor babi setelah dibersihkan dan dipotong-potong bisa lebih dari Rp 10 juta.

Anton punya sepeda motor, listrik PLN 1.300 watt digunakannya untuk pendingin daging, kulkas, tetapi tanpa televisi karena tidak terjangkau sinyal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com