Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

kolom

Holding BUMN Aviasi – Pariwisata, Jangan Mengulangi Kesalahan Garuda

Kompas.com - 09/09/2021, 10:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lalu bagaimana pelayanannya terhadap wisatawan tersebut? Berbeda atau tidak? Jika berbeda, tentu akan merugikan wisatawan tersebut. Jika sama pelayanannya, lalu untuk apa dibentuk holding?

Bisa saja wisatawan itu nanti berpindah menggunakan maskapai Citilink (anggota holding). Lalu bagaimana nasib maskapai swasta?

Barbara S Peterson dalam bukunya, Blue Stark: Inside JetBlue, The Upstart That Rocked an Industri tahun 2004 menyatakan bahwa kondisi ini disebut predatory practices atau flood the zone tactics, yaitu jaringan toko-toko besar yang mendominasi toko-toko kecil sehingga akhirnya bangkrut.

Hal ini pernah dialami maskapai-maskapai baru dan kecil di AS yang tergusur oleh jaringan maskapai-maskapai besar yang didukung oleh kebijakan pemerintah.

Pada akhirnya pemerintah AS melakukan deregulasi sehingga maskapai-maskapai kecil pun bisa berkompetisi secara fair melawan maskapai besar.

Kesalahan Garuda

Kondisi hampir serupa pernah terjadi di Indonesia dengan aktor utamanya adalah maskapai Garuda Indonesia. Garuda sampai saat ini sebenarnya selalu mendapat privilege lebih dari pemerintah.

Bahkan Garuda pernah memonopoli bisnis penerbangan nasional dari awal berdirinya perusahaan tahun 1950, sampai dengan 1990-an.

Pada saat itu, hanya Garuda yang boleh memakai pesawat jet. Garuda juga memonopoli penerbangan di kota-kota besar di Tanah Air. Garuda terlihat makmur.

Namun keadaan berbeda 180 derajat saat pemerintah mulai mengizinkan maskapai swasta memakai jet dan melakukan deregulasi penerbangan pada tahun 1990 dan 1992.

Mantan Direktur Utama Garuda periode 1998-2002, Abdulgani menulis bahwa mulai saat itu Garuda yang terbiasa hidup di zona nyaman pun, terguncang ketika harus bersaing dengan maskapai-maskapai swasta yang lebih energik dan lincah.

Tahun 1993 hingga tahun 1997, kondisi finansial dan operasional Garuda merosot tajam. Selama periode itu, total kerugian Garuda mencapai Rp 2 triliun. Arus kasnya juga negatif yang hampir saja membuat maskapai ini bangkrut.

Baca juga: Kerugian Garuda Indonesia Tembus Rp 13 Triliun pada Semester I-2021

Setelah itu sampai saat ini Garuda tidak bisa benar-benar dalam keadaan stabil. Pernah beberapa kali dilakukan restrukturisasi dan berhasil rebound, namun kondisi Garuda masih seperti saat ini. Anda bisa membaca, mendengar atau melihatnya di banyak pemberitaan media massa.

Padahal sampai saat ini Garuda masih mendapat beberapa previlege dari pemerintah. Misalnya untuk pengangkutan jamaah haji masih dimonopoli Garuda dan Saudia Airlines selaku perwakilan negara Saudi Arabia.

Garuda juga menjadi satu-satunya maskapai yang boleh dipakai aparatur sipil negara (ASN) untuk berdinas ke luar kota yang ada penerbangan Garuda.

Dari sisi aturan, Garuda juga diuntungkan yaitu dengan adanya aturan tentang pembagian maskapai berdasar layanan dan tarif domestiknya. Garuda yang masuk maskapai full service atau maskapai terbaik layanannya, ternyata mempunyai wilayah tarif yang sangat lebar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com