Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

kolom

Holding BUMN Aviasi – Pariwisata, Jangan Mengulangi Kesalahan Garuda

Kompas.com - 09/09/2021, 10:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Garuda mempunyai tarif batas atas tertinggi, sedangkan tarif batas bawahnya juga sangat dalam, bahkan hampir menyamai tarif bawah maskapai di bawahnya.

Hal inilah yang sering dipakai oleh pemerintah untuk mempengaruhi penjualan tarif maskapai nasional di pasar domestik. Seperti di tahun 2018 lalu, saat tarif penerbangan maskapai nasional dianggap terlalu mahal, pemerintah meminta Garuda untuk menurunkan tarifnya.

Dengan turunnya tarif Garuda, maskapai lain otomatis akan mengikuti. Jika tidak, penumpang mereka bisa pindah naik Garuda.

Misalnya saja anda ditawari, naik maskapai swasta (Indonesia AirAsia, Sriwijaya, Lion Air) atau memilih Garuda kalau tarifnya hanya berbeda 50 ribu – 100 ribu rupiah. Anda tentu memilih Garuda yang mempunyai layanan dan reputasi lebih baik. Begitu penjelasannya.

Namun dengan berbagai previlege seperti itu, apakah Garuda menjadi lebih baik? Anda bisa menilainya sendiri.

Jangan sampai kesalahan-kesalahan yang dilakukan pemerintah maupun manajemen terhadap Garuda, terulang pada holding aviasi-pariwisata ini.

Karena jika mengingat petuah Bung Karno di atas, dalam holding yang berpotensi menjadi monopoli ini tidak akan ada gemblengan, persaingan yang akan membuat manajemen selalu awas, dan tidak terlena dengan previlege-previlege dari pemerintah.

Perbaiki sistem

Jika terjadi hal yang demikian, masyarakat dan bangsa Indonesia juga yang akan dirugikan.

Kalau boleh memilih, dari pada membuat holding yang berpotensi monopoli, lebih baik pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Pariwisata memperbaiki atau membuat sistem persaingan yang sehat di bisnis penerbangan dan pariwisata.

Jangan dibedakan antara BUMN dan perusahan swasta. BUMN justru seharusnya menjadi salah bagian dari pemerintah untuk menggairahkan bisnis penerbangan dan pariwisata nasional, bukan justru membuat sekat dan menutup pintu.

Indonesia bukan hanya milik BUMN, tapi milik seluruh bangsa Indonesia yang mempunyai hak untuk melakukan usaha dengan persaingan yang sehat. Untuk Indonesia yang tangguh, untuk Indonesia yang tumbuh. ***

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com